SUARA UTAMA – Surabaya, 3 November 2025 – Dalam dunia ketenagakerjaan, istilah force majeure atau keadaan kahar kembali menjadi sorotan publik. Kondisi ini ternyata dapat dijadikan dasar hukum pemutusan hubungan kerja (PHK), namun tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa bukti dan prosedur yang sah.
Perusahaan Boleh PHK, Tapi Harus Penuhi Syarat
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, pengusaha diperbolehkan melakukan PHK apabila perusahaan tutup akibat keadaan memaksa (force majeure).
Force majeure didefinisikan sebagai keadaan di luar kendali pengusaha, seperti bencana alam, kebakaran besar, perang, pandemi, atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan kegiatan usaha tidak dapat dijalankan.
Namun, jika perusahaan masih dapat beroperasi sebagian, maka alasan force majeure tidak otomatis membenarkan PHK massal. Langkah tersebut tetap harus melalui perundingan antara pengusaha dan pekerja, serta melibatkan Dinas Ketenagakerjaan setempat.
Hak Pekerja Tetap Dilindungi
Pemerintah melalui PP 35/2021 juga menegaskan bahwa pekerja yang terkena PHK karena perusahaan tutup akibat force majeure tetap berhak atas kompensasi, meliputi:
- Uang pesangon sebesar 0,5 (setengah) kali ketentuan normal,
- Uang penghargaan masa kerja, dan
- Uang penggantian hak seperti cuti yang belum diambil atau biaya pemulangan.
“Walaupun alasannya keadaan kahar, hak-hak pekerja tidak boleh diabaikan. Pengusaha wajib memberikan kompensasi sesuai aturan,” ujar praktisi ketenagakerjaan kepada Suara Utama, Senin (3/11).
Komentar Pakar: Perlunya Keseimbangan dan Kepatuhan
Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, menegaskan bahwa force majeure memang dapat menjadi alasan hukum bagi PHK, namun pelaksanaannya harus hati-hati dan proporsional.
“Force majeure tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari kewajiban terhadap pekerja. Pengusaha tetap memiliki tanggung jawab moral dan hukum dalam memberikan hak-hak karyawan, sekalipun perusahaan sedang berada dalam tekanan ekonomi,” ujar Yulianto.
Ia menambahkan, dalam situasi ekonomi yang sulit, pemerintah dan dunia usaha harus bersinergi untuk mencari solusi yang adil, seperti restrukturisasi usaha atau penyesuaian operasional, sebelum mengambil langkah PHK.
“Keputusan PHK adalah jalan terakhir. Dalam praktiknya, perlu komunikasi terbuka antara manajemen dan pekerja agar tidak menimbulkan konflik hukum atau sosial,” lanjutnya.
Prosedur Wajib Tetap Dijalankan
Sebelum melakukan PHK dengan alasan force majeure, pengusaha wajib:
- Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pekerja atau serikat pekerja;
- Melakukan perundingan bipartit untuk mencapai kesepakatan;
- Melaporkan hasilnya kepada Dinas Ketenagakerjaan untuk mendapatkan verifikasi dan pengawasan.
Apabila langkah-langkah tersebut diabaikan, maka PHK dapat dianggap cacat hukum dan dapat digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Kesimpulan
Dengan demikian, force majeure memang bisa menjadi alasan sah untuk PHK, namun pelaksanaannya tidak boleh dilakukan sepihak. Pengusaha harus mematuhi aturan hukum, prosedur administratif, dan kewajiban kompensasi bagi pekerja.
Seperti disampaikan oleh Yulianto Kiswocahyono, diperlukan keseimbangan antara kepentingan bisnis dan perlindungan tenaga kerja agar hubungan industrial tetap berjalan harmonis di tengah tantangan ekonomi dan situasi luar biasa.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














