SUARA UTAMA – Surabaya, 24 Oktober 2025 — Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan sejak 19 September 2025, dan aturan ini langsung menjadi perbincangan panas di kalangan akuntan, konsultan pajak, dan pelaku usaha.
Aturan tersebut menegaskan bahwa penyusunan laporan keuangan hanya boleh dilakukan oleh akuntan berpraktik atau akuntan publik, dengan tujuan meningkatkan integritas dan akuntabilitas pelaporan keuangan nasional. Namun, kebijakan ini menuai polemik karena dinilai bisa “mengunci” peran profesi lain di bidang keuangan dan perpajakan terutama bagi konsultan pajak dan pelaku UMKM.
Yulianto Kiswocahyono: “Aturan ini baik, tapi bisa buat UMKM kelimpungan”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, konsultan pajak senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, menilai PP 43/2025 merupakan langkah positif untuk memperkuat profesionalisme, namun implementasinya perlu disertai masa transisi yang proporsional.
“Kita dukung profesionalisasi pelaporan keuangan. Tapi kalau langsung diterapkan tanpa masa transisi, UMKM bisa kelimpungan. Banyak konsultan pajak yang selama ini membantu mereka justru akan kehilangan peran,” ujar Yulianto.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara akuntan publik dan konsultan pajak agar kebijakan ini tidak justru menambah beban kepatuhan bagi dunia usaha kecil.
“Idealnya kolaborasi, bukan pembatasan. Pemerintah perlu membuka ruang kerja sama lintas profesi agar aturan ini bisa berjalan efektif,” tambahnya.
Eko Wahyu Pramono: “Kita perlu standar, tapi jangan matikan profesi non-CPA”
Sementara itu, Eko Wahyu Pramono, S.Ak. anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) dan praktisi akuntansi, menilai PP 43/2025 sebagai langkah maju yang tetap perlu disikapi hati-hati.
“Saya mendukung peningkatan standar pelaporan keuangan, tapi jangan diartikan sempit bahwa hanya akuntan publik yang boleh menyusun laporan. Banyak tenaga profesional non-CPA yang juga kompeten dan berpengalaman,” jelas Eko.
Ia menyoroti potensi dampak biaya tambahan bagi pelaku usaha kecil.
“Kalau semua laporan keuangan wajib lewat akuntan publik, biayanya jelas akan meningkat. Pemerintah perlu menyiapkan mekanisme sertifikasi alternatif agar penyusun laporan non-akuntan publik tetap bisa berperan,” tegasnya.
Pemerintah Ingin Transparansi, Tapi Implementasi Masih Ditunggu
PP 43/2025 juga memperkenalkan Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK) sistem digital nasional yang akan mengintegrasikan data laporan keuangan dengan berbagai lembaga pengawas. Selain itu, pemerintah membentuk Komite Standar Laporan Keuangan Nasional (KSLKN) untuk menetapkan standar pelaporan yang seragam dan sesuai praktik internasional.
Namun, pelaksanaan penuh PP ini masih menunggu aturan turunan dari kementerian dan lembaga teknis terkait. Pemerintah menargetkan uji coba sistem PBPK pada tahun fiskal 2026 untuk kelompok usaha menengah dan besar.
Siapa yang Wajib Menerapkan PP 43/2025
Berdasarkan ketentuan resmi, pihak-pihak yang wajib melaksanakan aturan ini meliputi:
- Pelaku Usaha di Sektor Keuangan
Meliputi bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga penjaminan, penyelenggara fintech lending, lembaga pembiayaan ekspor, penyelenggara sistem pembayaran, hingga infrastruktur pasar modal seperti bursa, KSEI, dan KPEI.
Mereka wajib menyusun laporan keuangan sesuai standar nasional dan melaporkannya melalui PBPK, disusun oleh Akuntan Publik atau Akuntan Berpraktik.
- Pelaku Usaha Non-Keuangan yang Berinteraksi dengan Sektor Keuangan
Termasuk badan usaha dan individu yang:
- Melakukan pembukuan dan transaksi dengan lembaga keuangan (debitur bank, nasabah lembaga pembiayaan, emiten di pasar modal);
- Wajib pembukuan berdasarkan ketentuan perpajakan; atau
- Melakukan transaksi keuangan lintas batas atau bernilai signifikan.
Artinya, hampir semua entitas yang berhubungan dengan sistem keuangan nasional baik langsung maupun tidak langsung akan terdampak PP 43/2025.
- Akuntan Publik dan Akuntan Berpraktik
PP ini menegaskan bahwa hanya akuntan publik atau akuntan berpraktik yang berwenang menyusun dan menandatangani laporan keuangan yang akan dikirimkan melalui PBPK.
Profesi lain, seperti konsultan pajak atau staf akuntansi internal, masih dapat berperan sebagai pendukung atau penyedia data, tetapi tidak dapat lagi menandatangani laporan resmi.
Tahapan dan Masa Transisi
- Mulai berlaku: 19 September 2025
- Uji coba PBPK: Tahun fiskal 2026 untuk usaha menengah dan besar
- UMKM: Diberikan masa transisi yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana (Permenkeu dan POJK)
Kesimpulan
PP 43/2025 membawa semangat transparansi dan profesionalisme dalam pelaporan keuangan nasional, namun menimbulkan perdebatan mengenai kesiapan dunia usaha dan profesi keuangan.
Pemerintah berkomitmen memperkuat sistem pelaporan digital dan meningkatkan kualitas data ekonomi nasional, tetapi kalangan bisnis berharap implementasinya bertahap dan inklusif, agar tidak menambah beban bagi pelaku UMKM maupun profesi non-akuntan publik.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














