SUARA UTAMA – Jakarta, 9 Oktober 2025 — Laju inflasi Indonesia yang relatif terkendali tidak berarti masyarakat boleh abai terhadap nilai uang. Walau inflasi tahunan 2024 hanya 1,57 persen, para ahli mengingatkan bahwa menabung saja tidak cukup untuk mempertahankan daya beli.
Data Bank Indonesia menunjukkan, inflasi nasional turun dari 5,51 persen pada 2022, menjadi 2,61 persen pada 2023, dan melandai ke 1,57 persen pada 2024. Namun, bunga tabungan yang rata-rata hanya 0,5–1 persen per tahun membuat nilainya tetap tergerus inflasi.
“Menabung itu penting untuk menjaga likuiditas, tapi tidak untuk menjaga nilai uang. Inflasi itu musuh senyap. Kalau bunga tabungan lebih rendah dari inflasi, artinya uang kita sebenarnya berkurang nilainya,” ujar Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, Rabu (9/10).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Instrumen Investasi yang Mampu Melawan Laju Inflasi
Menurut Yulianto, masyarakat perlu mulai memahami instrumen investasi produktif yang dapat menjaga bahkan menumbuhkan nilai uang melebihi laju inflasi tahunan. Berikut beberapa pilihan instrumen yang disarankannya:
- Saham dan Reksa Dana Saham
Dalam jangka panjang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat pertumbuhan rata-rata 8–12 persen per tahun, jauh di atas inflasi nasional. Saham menjadi instrumen efektif untuk meningkatkan nilai riil kekayaan.
“Pasar saham memang fluktuatif, tapi kalau horizon investasinya panjang, hasilnya hampir selalu positif. Investasi di saham bukan untuk cepat kaya, tapi untuk menjaga agar uang kita terus tumbuh di atas inflasi,” jelas Yulianto.
- Surat Berharga Negara (SBN Ritel dan Sukuk)
Instrumen seperti ORI025 dan Sukuk Ritel SR020 menawarkan kupon tetap 5–6,5 persen per tahun, dengan risiko rendah karena dijamin oleh negara.
“SBN adalah pilihan realistis dan aman bagi masyarakat umum. Selain menguntungkan secara individu, ini juga membantu pembiayaan pembangunan nasional,” terang Yulianto.
- Emas
Sebagai aset pelindung nilai (hedging asset), emas Antam mencatat kenaikan rata-rata 6–9 persen per tahun selama satu dekade terakhir. Saat inflasi tinggi atau rupiah melemah, emas terbukti menjadi aset stabil.
“Emas itu sederhana tapi efektif. Tidak menghasilkan bunga, tapi menjaga daya beli dengan baik. Cocok bagi mereka yang ingin investasi tanpa repot,” tambahnya.
- Properti
Harga tanah dan rumah di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung tumbuh 6–10 persen per tahun, menurut indeks properti Bank Indonesia.
“Properti mengikuti inflasi secara alami karena biaya bahan bangunan dan nilai tanah selalu naik. Tapi jangan asal beli, pastikan lokasinya strategis dan bernilai jangka panjang,” jelas Yulianto.
- Reksa Dana Campuran
Reksa dana campuran yang berisi portofolio saham dan obligasi menawarkan imbal hasil 6–9 persen per tahun dengan risiko sedang. Instrumen ini cocok bagi investor pemula yang ingin mengalahkan inflasi tanpa risiko tinggi.
Tabungan dan Deposito Masih Kalah
Sementara bunga deposito kini hanya 3–4 persen per tahun, hampir setara dengan inflasi, namun tidak memberikan margin keuntungan yang signifikan.
“Kita sering merasa aman hanya karena uangnya tidak hilang, padahal nilainya turun perlahan. Aman itu bukan berarti diam aman itu kalau nilainya tetap tumbuh,” tegas Yulianto.
Saran untuk Generasi Muda
Yulianto juga menekankan pentingnya edukasi finansial sejak dini agar generasi muda memahami cara kerja uang dan nilai waktu terhadap uang (time value of money).
“Anak muda sekarang harus melek investasi. Jangan tunggu mapan dulu baru berinvestasi. Justru dengan mulai sejak muda, efek bunga berbunga (compound interest) bisa bekerja maksimal,” sarannya.
Ia menambahkan, pemerintah dan lembaga keuangan seharusnya lebih aktif menggalakkan literasi investasi di sekolah dan kampus, agar budaya menabung bisa bergeser menjadi budaya berinvestasi.
“Kalau generasi muda sudah terbiasa menabung produktif melalui instrumen legal seperti SBN, reksa dana, atau saham, maka ketahanan ekonomi nasional juga akan semakin kuat. Investasi bukan hanya soal uang pribadi, tapi juga kontribusi pada pertumbuhan ekonomi,” tutup Yulianto.
Komentar Eko Wahyu Pramono: Inflasi Adalah Musuh Senyap
Pandangan senada disampaikan oleh Eko Wahyu Pramono, praktisi hukum sekaligus investor saham, kripto, dan emas, yang menilai bahwa mempelajari dunia investasi kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan dasar setiap orang.
“Kita semua punya musuh yang sama, yaitu inflasi. Tanpa disadari, setiap tahun nilai uang terus menurun. Karena itu, memahami dunia investasi bukan gaya hidup, tapi kebutuhan. Siapa yang tidak belajar, dia akan kalah dalam jangka panjang,” ujar Eko.
Eko menekankan pentingnya diversifikasi portofolio dan pemahaman risiko agar masyarakat tidak sekadar ikut tren, terutama dalam aset digital seperti kripto.
“Investasi bukan sekadar ikut-ikutan. Harus paham risiko dan strategi. Tapi yang paling penting, mulai dulu. Karena waktu adalah aset terbesar investor,” tambahnya.
Kesimpulan
Secara empiris, saham, reksa dana, SBN, emas, dan properti terbukti memberikan hasil yang mampu mengalahkan inflasi dalam jangka panjang. Sementara tabungan dan deposito hanya cocok untuk dana darurat, bukan untuk membangun kekayaan.
Dengan proyeksi inflasi 2025 di kisaran 2,5 ±1 persen, para analis menilai bahwa tahun ini menjadi momentum tepat bagi generasi muda untuk mulai berinvestasi sejak dini, memperkuat literasi keuangan, dan membangun ketahanan ekonomi individu menghadapi “musuh senyap” bernama inflasi.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














