Suarautama.id | Halmahera Selatan — Praktisi Hukum Muda Indonesia (PHAI) Kabupaten Halmahera Selatan resmi melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Langkah ini merupakan bentuk protes hukum dan moral terhadap dugaan pelanggaran serius yang dilakukan Bupati Halmahera Selatan, Basam Kasuba, dalam pelantikan empat kepala desa pada 25 Agustus 2025, yang sebelumnya telah dibatalkan oleh pengadilan.
Menurut PHAI, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon yang membatalkan Surat Keputusan (SK) keempat kepala desa tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah dikuatkan oleh PTTUN Manado. Dengan demikian, Bupati Halsel wajib melaksanakan putusan itu, bukan justru melantik kembali orang yang sama.
“Tindakan Bupati Halsel yang melantik kembali kepala desa yang SK-nya telah dibatalkan adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum dan penghinaan terhadap lembaga peradilan,” tegas Ketua PHAI Halsel, Safri Nyong, S.H.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyebut, langkah hukum yang diambil PHAI merupakan peringatan keras kepada pejabat publik agar tidak mempermainkan hukum dan tidak menjadikan jabatan sebagai tameng pelanggaran.
Dewan Pembina PHAI Halsel, Maulana Patra Syah, S.H., M.H., menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum administrasi, namun juga berpotensi menimbulkan sanksi etik dan jabatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Ketika kepala daerah mengabaikan putusan pengadilan yang sudah inkracht, itu termasuk tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran berat. Secara normatif, pelanggaran seperti ini bisa berimplikasi pada sanksi pemberhentian tetap,” ujar Maulana Patra Syah.
Sementara itu, Bambang Joesangaji, S.H., selaku anggota PHAI Halsel, menilai kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di daerah bila dibiarkan tanpa tindakan.
“Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi bentuk nyata pembangkangan terhadap sistem peradilan. Bila pejabat publik bisa melanggar hukum tanpa konsekuensi, maka fondasi negara hukum akan runtuh,” tandas Bambang.
PHAI Halsel menegaskan, tindakan Bupati Halsel berpotensi melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan, antara lain:
1. Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009
- Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dikenai sanksi administratif hingga pemberhentian dari jabatan.
2. Pasal 17 & 18 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014
- Pejabat publik dilarang bertindak sewenang-wenang atau melanggar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Sanksinya diatur dalam Pasal 80 ayat (3): pemberhentian tetap, dengan atau tanpa hak keuangan, dan dapat diumumkan ke publik.
3. Pasal 76 ayat (1) huruf g dan Pasal 78 ayat (2) huruf c UU No. 23 Tahun 2014
- Kepala daerah dilarang menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah jabatan.
- Pelanggaran ini dapat berujung pada pemberhentian tetap sebagai kepala daerah.
4. Pasal 61 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014
- Sumpah kepala daerah:
“menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.”
- Dengan mengabaikan putusan pengadilan, Bupati Halsel dinilai telah melanggar sumpah jabatannya.
5. Pasal 421 KUHP
- Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan dapat dipidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
PHAI Halsel menegaskan, pelanggaran ini bukan sekadar administratif, tetapi juga menyentuh dimensi moral, etika, dan integritas jabatan publik.
Dalam hukum administrasi, dua prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi adalah:
- Prinsip Legalitas: setiap tindakan pejabat harus berdasar hukum.
- Prinsip Akuntabilitas: setiap keputusan pejabat harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Tindakan Bupati Halsel yang menentang putusan pengadilan tidak memenuhi kedua prinsip itu, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang yang berimplikasi pada pemberhentian tetap dari jabatan kepala daerah.
“Tidak ada jabatan yang pantas dipertahankan dengan mengorbankan hukum. Dalam negara hukum, pejabat harus tunduk pada putusan pengadilan, bukan sebaliknya.” tegas Safri Nyong, S.H.
Sebagaimana dikatakan Machiavelli, benteng terbaik seorang pemimpin adalah tidak dibenci oleh rakyatnya. Sebab, ketika rakyat sudah membenci, tak ada benteng yang bisa menyelamatkan penguasa,” ujar Safri Nyong.
Penulis : Rafsanjani M.utu
Editor : Admin Suarautama.id
Sumber Berita : Kontributor Suarautama.id















