Padang, 4 Oktober 2025 – Proses pengurusan sertifikat tanah ulayat di Sumatera Barat hingga kini masih menemui jalan terjal. Alih-alih mempermudah, regulasi berlapis serta praktik birokrasi justru memperlambat dan mempersulit masyarakat adat dalam mengurus hak atas tanahnya.
Fakta-fakta utama yang ditemukan:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tersendat
Sertifikasi tanah ulayat hanya bisa diproses bila komunitas adat diakui pemerintah daerah.
Banyak nagari/kaum belum diakui formal sehingga proses berhenti di meja Pemda.
2. Persyaratan Adat yang Berat
Masyarakat diwajibkan melampirkan ranji/silsilah kaum, kesepakatan seluruh anggota, dan persetujuan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Proses ini memakan waktu lama, rawan konflik internal, dan sering tidak lengkap.
3. Status Lahan Belum Clear and Clean
Klaim tumpang tindih antar kaum/nagari dan benturan dengan izin pihak ketiga membuat tanah sulit didaftarkan.
Aparat pertanahan sering menolak berkas dengan alasan batas wilayah tidak jelas.
4. Peran Aparatur yang Mempersulit
Sejumlah masyarakat mengeluhkan praktik berbelit-belitnya birokrasi, mulai dari desa/nagari hingga kantor pertanahan.
Ada laporan pungutan tidak resmi, permintaan dokumen tambahan di luar aturan, serta proses yang ditunda-tunda tanpa kepastian.
Hal ini membuat biaya dan waktu pengurusan semakin berat bagi masyarakat adat.
5. Risiko Privatisasi Pasca-PTSL
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) membuka peluang tanah ulayat bergeser ke kepemilikan pribadi.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran hilangnya hak kolektif.
6. Kelemahan Posisi Hukum di Pengadilan
Sertifikat formal lebih kuat dibanding klaim ulayat berbasis adat.
Tanpa dokumen resmi, posisi masyarakat adat sering kalah dalam persidangan.
7. Regulasi Baru Menimbulkan Polemik
Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 menggantikan aturan lama dan membuka opsi Hak Pengelolaan (HPL) di tanah ulayat.
Skema ini dikhawatirkan memberi celah masuknya pihak ketiga, sementara masyarakat adat semakin tersisih.
—
Kutipan Tokoh Adat
Ketua LKAAM Sumatera Barat, Fauzi Bahar, menegaskan:
“Tanah ulayat adalah identitas dan sumber kehidupan orang Minangkabau. Jika pengurusannya dipersulit oleh regulasi yang berlapis dan aparatur yang berbelit-belit, maka hak kolektif masyarakat akan semakin terancam. Pemerintah harus hadir untuk mempermudah, bukan malah memperumit.”
Sementara itu, Ketua Lakam, Azwar Sirri, menyampaikan:
“Masyarakat sudah berulang kali mengurus, tapi sering dipingpong dari satu meja ke meja lain. Ada pula syarat tambahan yang tidak jelas dasarnya. Kami berharap pemerintah dan BPN memberikan jalan yang jelas agar tanah ulayat bisa diakui secara sah tanpa memberatkan rakyat.”
—
📌 Kesimpulan
Hambatan pengurusan sertifikat tanah ulayat bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut politik pengakuan, birokrasi aparatur, dan regulasi yang belum berpihak penuh pada masyarakat adat. Jika tidak segera dibenahi, tanah ulayat berisiko besar tergerus oleh kepentingan pihak lain.
Penulis : Ziqro fernando
Editor : Ziqro fernando
Sumber Berita : Tim wartawan














