Di aula bupati, bendera merah putih berkibar setengah hati. Empat orang berdiri. Mengucap sumpah. Menggenggam janji. tapi di luar ruangan orang-orang sibuk dengan tanya.
“Bukankah PTUN Ambon sudah membatalkan pemilihan empat kepala desa itu? Lalu kenapa pelantikan tetap jalan?” (Putusan PTUN Ambon No. 131/G/2022-2023/PTUN.ABN).
Pertanyaan itu lahir dari warung kopi, dari emperan toko, dari obrolan WhatsApp grup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa jawaban pemerintah? Satu kata yang selalu dipakai seperti obat manjur serba guna: diskresi.
Saya ingat ucapan S. Prajudi Atmosudirjo. Diskresi, tulisnya, adalah kebebasan seorang pejabat bertindak saat hukum tidak memberi jalan keluar. Sebuah jembatan darurat di ujung jalan buntu (Atmosudirjo, Jurnal Sasi, Vol. 23 No. 3, 2017).
Tapi bukankah jalan buntu kali ini sudah ada pintu keluar? Namanya: putusan PTUN Ambon yang terang-benderang membatalkan pemilihan empat kepala desa itu.
Maka, pertanyaan menggelayut: apakah diskresi ini masih jembatan darurat? Ataukah sebenarnya jalan tikus?
Sjachran Basah sudah lama mengingatkan. Diskresi katanya, hanya boleh digunakan untuk kepentingan umum, dan yang lebih penting: tidak boleh bertentangan dengan hukum (Basah, Hukum Administrasi Negara, 1995). Kalau sampai menabrak putusan pengadilan, itu bukan diskresi. Itu akal-akalan. Itu alasan yang dipoles agar tampak legal.
Dan di sinilah kita perlu mengingat hierarki paling sederhana dalam hukum administrasi negara: putusan pengadilan lebih tinggi daripada keputusan seorang bupati. Putusan PTUN adalah produk yudikatif yang memiliki kekuatan mengikat (res judicata pro veritate habetur “putusan hakim harus dianggap benar”). Sedangkan keputusan bupati hanyalah produk eksekutif yang posisinya bisa dibatalkan.
Dengan kata lain, ketika PTUN Ambon lewat Putusan Nomor 131/G/2022-2023/PTUN.ABN menyatakan pemilihan empat kepala desa itu batal, maka secara hukum, dasar bagi bupati untuk melantik sudah runtuh. Dalam literatur hukum, Philipus M. Hadjon menulis bahwa putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan memaksa pejabat administrasi untuk tunduk (Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, 2005). Maka, pelantikan empat kepala desa itu bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bisa dibaca sebagai bentuk contempt of court – pengabaian terhadap otoritas pengadilan.
Namun pemerintah Halsel punya jawabannya sendiri. Kepala Dinas DPMD, M. Zaki, kepada media mengatakan bahwa pelantikan empat kepala desa ini dilakukan setelah pertimbangan matang. Menurutnya, bupati memang punya kewenangan melantik demi mencegah roda pemerintahan desa macet (tampilNews.com, 9 September 2025).
Lalu kita bertanya: apakah “roda pemerintahan” bisa digerakkan dengan melindas putusan pengadilan?
Saya masih ingat suasana warung kopi Hotel Palm 2, seminggu setelah pelantikan. Meja plastik berlapis noda kopi dipenuhi percakapan getir. Seorang aktivis Gerakan Pemuda Marhaenisme (GPM), Harmain Rusli, melempar kalimat yang pedas:
“Kalau putusan pengadilan bisa diabaikan begitu saja, untuk apa lagi ada pengadilan?” (Wawancara penulis dengan Armain Rusli, Labuha, 16 September 2025).
Kalimat itu menancap. Membakar. Membuat saya resah. Karena hukum, bagi saya, adalah pagar terakhir. Kalau pagar itu bisa dilompati seenaknya dengan dalih diskresi, maka yang tersisa hanyalah hutan rimba bernama kekuasaan.
Empat kepala desa itu memang sudah dilantik dengan gegap gempita. Tapi di balik gegap gempita, ada getir yang menetes. Ada rasa malu yang diam-diam tumbuh di dada warga. Karena kepala desa bukan sekadar pejabat administratif. Ia adalah wajah negara yang paling dekat. Pemimpin yang harus lahir dari proses sahih, bukan dari jalan tikus.
Diskresi, mestinya, untuk rakyat. Untuk melindungi mereka. Tapi di Halsel, ia lebih mirip senjata politik. Dipakai untuk mempertahankan pengaruh, untuk menegakkan ego, untuk menutup mata dari putusan hukum.
Dan akhirnya, pertanyaan itu kembali bergaung: diskresi ini untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk kekuasaan?
Sejarah mungkin kelak menjawab. Tapi hari ini, di Negeri Saruma yang lembab, jawaban itu masih samar. Masih menguap di antara asap rokok dan kopi.
Penulis : Irfandi Kamarullah., S.H
Editor : Admin Suarautama.id














