SUARA UTAMA – Jakarta, 19 Agustus 2025 – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengaitkan pajak dengan zakat dan wakaf dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah mengundang perhatian banyak pihak. Kontroversi ini tidak hanya terkait dengan kesalahan dalam retorika, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam tata kelola fiskal Indonesia. Mengaitkan pajak dengan istilah agama, serta menyebut empat sifat Nabi Muhammad SAW, siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah dapat dianggap sebagai upaya untuk menekankan nilai moral dalam pengelolaan pajak. Namun, hal ini juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah struktural yang ada dalam sistem perpajakan.
Saat ini, penerimaan pajak Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Regulasi pajak yang terus berkembang dengan lebih dari 6.000 aturan, banyak di antaranya tumpang tindih, menjadi kendala bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu, utang negara yang terus meningkat menjadi isu besar yang harus dihadapi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, mengaitkan pajak dengan narasi agama perlu disikapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kebingungan atau persepsi yang salah di kalangan publik.
Pajak Bukan Zakat
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, memberikan kritik terhadap pernyataan Sri Mulyani, menyebutnya sebagai kebingungannya dalam menyampaikan perbandingan antara pajak dan zakat. Zakat, menurutnya, adalah kewajiban agama yang jelas, sederhana, dan langsung berdampak kepada mustahik. Sebaliknya, pajak yang diterapkan di Indonesia sering kali dianggap membebani masyarakat dengan regulasi yang rumit dan kurang transparan.
“Pajak harus dapat diakses dan dipahami oleh seluruh masyarakat, dan bukan menjadi sesuatu yang membingungkan atau tumpang tindih dalam pelaksanaannya,” ungkap Rinto Setiyawan, yang juga menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam sistem perpajakan.
Retorika Agama vs Realitas APBN
Pernyataan Sri Mulyani mengenai “setan di APBN” menambah kompleksitas dalam pembahasan ini. Meskipun ia mengakui pentingnya transparansi dalam pengelolaan APBN, kritik terhadap sistem perpajakan yang ada menjadi hal yang perlu diperhatikan. Seharusnya, pemerintah fokus pada perbaikan sistem perpajakan yang telah dibangun, bukan sekadar mengaitkan kebijakan fiskal dengan narasi agama. Pajak seharusnya berfungsi sebagai instrumen negara untuk mendanai pembangunan yang adil dan merata, tanpa perlu melibatkan nilai-nilai agama sebagai legitimasi.
Mengaitkan pajak dengan zakat bisa menimbulkan persepsi bahwa pajak merupakan kewajiban yang harus diterima dengan penuh kerelaan, seolah-olah merupakan bentuk ibadah. Hal ini berisiko mengaburkan tujuan utama pajak sebagai alat untuk mendanai kebutuhan negara dan mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Prediksi Cak Nun: Krisis Utang yang Makin Dalam
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memberikan pandangannya terkait kondisi fiskal Indonesia. Cak Nun memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi krisis utang yang semakin mendalam, mengingat besarnya utang negara yang terus meningkat. Ia menyatakan bahwa dalam waktu dekat, pemerintah akan kesulitan mencari pinjaman baru, karena negara pemberi pinjaman juga mengalami tekanan finansial.
“Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam pengelolaan utang dan mencari cara yang lebih bijak dalam pembiayaan negara, tanpa mengorbankan ketahanan ekonomi jangka panjang,” ujarnya.
Cak Nun juga menyoroti tantangan di sektor pangan, dengan memperingatkan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan ketahanan pangan yang lebih kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Tantangan yang Dihadapi oleh Menteri Keuangan
Kritik terhadap kebijakan fiskal dan prediksi krisis utang yang disampaikan oleh berbagai pihak menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebagai pemimpin dalam pengelolaan keuangan negara, Sri Mulyani harus mampu mengelola fiskal dengan bijak dan transparan. Retorika agama yang disampaikan dalam konteks kebijakan fiskal perlu dievaluasi kembali agar tidak menimbulkan kontroversi atau kebingunguan publik.
Keberhasilan seorang Menteri Keuangan tidak hanya diukur dari kemampuan mengumpulkan penerimaan pajak, tetapi juga dari kemampuan untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan mendukung kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, perbaikan sistem perpajakan yang lebih sederhana, adil, dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat harus menjadi prioritas utama.
Jalan Menuju Perbaikan
Dalam situasi di mana utang negara terus membengkak dan penerimaan pajak terhambat oleh regulasi yang rumit, langkah perbaikan yang lebih substansial diperlukan. Menteri Keuangan harus berfokus pada reformasi perpajakan yang benar-benar mengutamakan keadilan sosial dan transparansi, bukan sekadar menggunakan narasi agama untuk melegitimasi kebijakan fiskal.
Penting untuk melihat kebijakan fiskal secara objektif dan mengedepankan kepentingan rakyat, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














