SUARA UTAMA – Jakarta, 2 Agustus 2025 – Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Budi Gunawan, menyatakan bahwa tindakan pengibaran bendera non-negara seperti bendera One Piece yang dimaknai sebagai bentuk provokasi dapat dikenai sanksi hukum. Pernyataan ini disampaikan menanggapi maraknya pemasangan bendera bertema fiksi menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia.
“Pemerintah akan mengambil tindakan hukum secara tegas dan terukur jika ada unsur kesengajaan dan provokasi demi memastikan ketertiban dan kewibawaan simbol-simbol negara,” ujar Budi Gunawan dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Ia menambahkan bahwa pemerintah tengah mencermati adanya penggunaan simbol-simbol fiksi yang dinilai berpotensi menurunkan marwah Bendera Merah Putih sebagai lambang perjuangan nasional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalam beberapa hari terakhir, kami mencermati dengan serius adanya provokasi dari sebagian kelompok untuk menurunkan marwah bendera perjuangan kita dan mengganti dengan bendera simbol-simbol fiksi tertentu. Ini tentu sangat memprihatinkan kita semua,” tambahnya.
Budi juga mengingatkan bahwa tindakan tersebut dapat melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, khususnya Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun.”
Meski demikian, pemerintah tetap menghargai ekspresi publik selama tidak melanggar norma hukum dan tidak mencederai simbol negara.
“Pemerintah mengapresiasi ekspresi kreativitas untuk memperingati Hari Kemerdekaan sekaligus mengimbau agar bentuk-bentuk ekspresi tersebut tidak melanggar batas dan mencederai simbol negara,” ujar Budi.
Penegakan Hukum Harus Konsisten
Pernyataan Menko Polhukam ini mendapat tanggapan dari sejumlah akademisi dan mahasiswa hukum. Salah satunya adalah Eko Wahyu Pramono, mahasiswa Ilmu Hukum dari salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang menilai bahwa penegakan hukum terkait simbol negara seharusnya dilakukan secara konsisten dan tidak diskriminatif.
“Saya sepakat bahwa Bendera Merah Putih adalah simbol negara yang harus dihormati. Namun, jika pemerintah menyoroti bendera fiksi seperti One Piece, maka praktik pengibaran bendera partai politik yang sering dikibarkan sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Merah Putih juga patut menjadi perhatian,” ujarnya.
Eko menilai bahwa dalam berbagai kegiatan politik, termasuk kampanye, pengibaran bendera partai kerap dilakukan berdampingan dengan Merah Putih, namun sering kali luput dari pengawasan dan penindakan.
“Undang-undang yang sama menyebutkan bahwa Bendera Negara tidak boleh dikibarkan di bawah lambang apa pun. Maka jika hukum hendak ditegakkan, seharusnya seluruh pelanggaran termasuk oleh institusi politik juga mendapat perlakuan yang sama,” katanya.
Menurutnya, ekspresi masyarakat melalui simbol populer seperti bendera One Piece tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap negara, terlebih jika tidak ada niat provokatif yang terbukti secara hukum.
“Kita perlu membedakan antara ekspresi kritik sosial dan tindakan yang benar-benar melanggar hukum. Jika semua bentuk simbolik langsung diproses hukum tanpa mempertimbangkan konteks, ini bisa membatasi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi,” tambahnya.
Simbol Populer dan Kritik Sosial
Fenomena pengibaran bendera One Piece menjelang peringatan 17 Agustus ditemukan di berbagai daerah. Bendera yang menampilkan simbol tengkorak dan topi jerami ini umumnya dikibarkan di depan rumah, kendaraan pribadi, atau ruang publik. Sebagian masyarakat memaknainya sebagai bentuk ekspresi kebebasan dan kritik sosial terhadap kondisi bangsa saat ini.
Di media sosial, fenomena ini menuai pro dan kontra. Sebagian warganet menganggapnya sebagai ekspresi kreatif dan simbol harapan akan keadilan, sementara yang lain menilai tindakan tersebut tidak sepatutnya dilakukan bersamaan dengan momen kenegaraan.
Catatan Redaksi
Penggunaan simbol non-negara dalam ruang publik hendaknya dilakukan dengan bijak dan tidak menyalahi aturan yang berlaku. Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan menerapkan hukum secara konsisten kepada seluruh pihak, tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang adil dan proporsional menjadi pilar penting dalam menjaga martabat simbol negara serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














