Suara Utama, Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Teks sakral lima sila itu dikumandangkan di berbagai instansi, dari istana hingga sekolah-sekolah. Namun pertanyaannya, apakah Pancasila masih hidup dalam praktik, atau hanya menjadi simbol yang diulang tanpa makna?
Pancasila lahir sebagai panduan moral, dasar negara, dan ideologi pemersatu. Nilai-nilainya—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial—merupakan fondasi yang seharusnya menjadi kompas etika bagi seluruh warga negara, terutama para pemegang kekuasaan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa implementasinya jauh dari harapan, terutama di kalangan pejabat publik.
Kita hidup dalam realitas yang kontras. Di satu sisi, pejabat negara rutin mengutip Pancasila dalam pidato dan pernyataan resmi. Namun di sisi lain, praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, gaya hidup mewah, dan lemahnya kepedulian terhadap rakyat menjadi pemandangan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya meresap sebagai karakter moral dalam birokrasi dan kepemimpinan nasional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, misalnya, mengajarkan empati, keadilan, dan perlakuan manusiawi terhadap sesama. Tapi bagaimana sila ini dijalankan ketika pelayanan publik masih diskriminatif, ketika aparat hukum tidak berpihak pada yang lemah, atau ketika pejabat lebih sibuk mencitrakan diri daripada mendengarkan jeritan rakyat?
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, seolah menjadi utopia. Ketimpangan ekonomi semakin tajam. Akses pendidikan dan kesehatan berkualitas masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar rakyat. Sementara itu, sejumlah pejabat justru terlibat dalam praktik memperkaya diri sendiri di tengah penderitaan masyarakat.
Pancasila menekankan pentingnya persatuan, namun elit politik sering kali mempertajam perbedaan demi kepentingan elektoral. Demokrasi dijunjung tinggi dalam sila keempat, namun proses pengambilan keputusan publik sering kali tidak mencerminkan aspirasi rakyat, melainkan dikendalikan oleh kepentingan segelintir elite.
Realitas ini menimbulkan krisis keteladanan. Padahal, nilai-nilai Pancasila tidak akan hidup dalam masyarakat jika tidak diwujudkan oleh mereka yang menjadi panutan. Pejabat publik seharusnya bukan hanya memahami Pancasila secara teoritis, tetapi juga menghidupinya dalam tindakan. Tanpa keteladanan dari pemimpin, masyarakat akan kehilangan arah, dan Pancasila akan tergerus oleh pragmatisme serta politik transaksional.
Sudah saatnya refleksi terhadap Pancasila tidak lagi bersifat simbolik. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap bagaimana nilai-nilai Pancasila diintegrasikan ke dalam kebijakan publik, etika birokrasi, pendidikan, dan budaya politik kita. Pendidikan Pancasila bukan sekadar mata pelajaran, tetapi harus menjadi proses pembentukan karakter yang nyata dan berkelanjutan.
Pancasila tidak boleh dibiarkan menjadi slogan kosong. Ia harus menjadi roh dalam setiap keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh negara. Para pejabat publik harus menjadi cerminan nilai-nilai Pancasila—jujur, adil, sederhana, dan berpihak pada rakyat.
Tanpa itu semua, Pancasila hanya akan menjadi dokumen historis yang kehilangan relevansi. Padahal, di tengah kompleksitas tantangan bangsa hari ini—dari kemiskinan, intoleransi, hingga degradasi moral—Pancasila adalah jawaban yang paling esensial. Bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dijalankan.
Penulis : Tonny Rivani














