Optimisme Adalah Daya Saing

- Penulis

Sabtu, 31 Mei 2025 - 17:30 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Petambak Dipasena Lampung Panen Udang Vannamei (31/5) SUARAUTAMA.ID

Petambak Dipasena Lampung Panen Udang Vannamei (31/5) SUARAUTAMA.ID

SUARA UTAMA- Bayangkan Anda tamu penting yang datang ke sebuah daerah. Yang disuguhkan bukan potensi, tapi kemiskinan. Derita. Keluhan. Apakah Anda tertarik membangun kerja sama?

Dalam banyak forum, kita sering mendengar kritik terhadap pejabat atau tokoh masyarakat yang menampilkan sisi keberhasilan daerahnya saat menyambut tamu—baik pejabat tinggi maupun calon investor.

Kolam-kolam udang, sawah menghijau, panen kebun yang melimpah, dan senyum warga penuh harapan sering menjadi pemandangan yang disuguhkan.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Optimisme Adalah Daya Saing Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu muncul suara sinis: “Itu cuma hiasan. Faktanya masih banyak yang hidup dalam kesulitan.”

Kritik seperti itu tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun mari kita bertanya lebih dalam:

Saat ingin menarik perhatian dan membangun kepercayaan, apakah kita sebaiknya menjual derita? Atau menunjukkan peluang?

Menjual optimisme bukan berarti memoles kenyataan. Bukan menutupi kesusahan. Justru sebaliknya—ia adalah strategi cerdas untuk membangun harapan, membangkitkan kepercayaan, dan mengundang partisipasi yang bermakna.

Optimisme menunjukkan bahwa di balik tantangan, ada daya hidup. Ada potensi. Dan ketika itu ditampilkan dengan jujur dan bijak, kerja sama bisa dibangun di atas dasar kesetaraan—bukan karena rasa iba.

Kita ingin dikenal bukan sebagai wilayah yang meminta-minta, tapi sebagai tanah yang mengandung semangat juang dan daya saing.

BACA JUGA :  Warga Desa Maron Kidul di Dampingi Kuasa Hukum Nya Datangi Polsek Gending, Laporkan Dugaan Membawa Kabur Istri nya Yang Sempat di Grebek.

Sebaliknya, mentalitas menjual kemiskinan justru sering menjatuhkan kita ke posisi inferior. Kita jadi hanya penerima belas kasih.

Bantuan yang lahir dari rasa iba biasanya bersifat jangka pendek, tanpa keberlanjutan. Sementara optimisme membuka jalan menuju kolaborasi yang lebih kokoh dan saling menguntungkan.

Kolam tambak yang panen, sawah yang menghijau, kebun yang produktif—itu bukan pencitraan. Itu bukti bahwa tanah ini subur dan rakyatnya punya tekad. Maka tugas kita adalah menjadikan keberhasilan itu sebagai cermin bagi yang belum berhasil, bukan sebagai topeng yang menutup-nutupi kenyataan.

Bahkan, menampilkan keberhasilan bisa menjadi jembatan empati: “Ini loh, kalau kita kerja sama, hasilnya bisa seperti ini.”

Kuncinya adalah keseimbangan. Tampilkan keberhasilan sebagai daya tarik, sambil menyusun rencana yang konkret untuk memberdayakan mereka yang masih tertinggal. Dengan begitu, kita membentuk narasi: bahwa daerah ini tidak sekadar butuh ditolong, tetapi layak diajak maju bersama.

Optimisme bukan topeng. Ia adalah bahan bakar. Berhentilah menjual kemiskinan. Mari jual harapan, kerja keras, dan semangat bangkit.

Sebab dari situlah martabat kita tumbuh, dan masa depan yang lebih baik bisa dimulai—dengan kepala tegak, bukan tangan yang menengadah.

 

Penulis : Nafian Faiz, Jurnalis pernah menjadi Kepala Desa 2 Preode, akitivis sosial tinggal di Lampung.

Berita Terkait

UMKM Sumatera Didorong Bangkit Lewat Skema Insentif Fiskal Pascabencana
Menakar Keadilan Pemungutan Pajak atas Pendapatan Hari Tua
IPMAMI & YLBHI Laporkan Dugaan Pelanggaran HAM di Jila Mimika ke Komnas HAM
Dampak Stop Izin Perumahan oleh Gubernur Dedi Mulyadi: Siapa Diuntungkan, Siapa Dikorbankan?
Kontradiksi Kebijakan Penghentian Penerimaan Guru Honorer Versus Kekurangan Guru pada SMP dan SMA
Hoax, Tegas Kepala BPBD kabupaten Probolinggo Perihal Video Bencana Banjir di Tiris Ribuan Rumah dan Jembatan Hancur
Solidaritas Peduli Jila Gelar Aksi Damai di DPRK Mimika
Sumitro Djojohadikusumo: Pahlawan Nasional yang Terlambat Diakui Negara
Berita ini 175 kali dibaca
Menjual optimisme bukan berarti memoles kenyataan. Bukan menutupi kesusahan. Justru sebaliknya—ia adalah strategi cerdas untuk membangun harapan, membangkitkan kepercayaan, dan mengundang partisipasi yang bermakna.

Berita Terkait

Kamis, 18 Desember 2025 - 14:28 WIB

UMKM Sumatera Didorong Bangkit Lewat Skema Insentif Fiskal Pascabencana

Kamis, 18 Desember 2025 - 13:26 WIB

Menakar Keadilan Pemungutan Pajak atas Pendapatan Hari Tua

Kamis, 18 Desember 2025 - 13:21 WIB

IPMAMI & YLBHI Laporkan Dugaan Pelanggaran HAM di Jila Mimika ke Komnas HAM

Kamis, 18 Desember 2025 - 12:47 WIB

Dampak Stop Izin Perumahan oleh Gubernur Dedi Mulyadi: Siapa Diuntungkan, Siapa Dikorbankan?

Kamis, 18 Desember 2025 - 11:44 WIB

Kontradiksi Kebijakan Penghentian Penerimaan Guru Honorer Versus Kekurangan Guru pada SMP dan SMA

Rabu, 17 Desember 2025 - 18:58 WIB

Hoax, Tegas Kepala BPBD kabupaten Probolinggo Perihal Video Bencana Banjir di Tiris Ribuan Rumah dan Jembatan Hancur

Rabu, 17 Desember 2025 - 18:17 WIB

Solidaritas Peduli Jila Gelar Aksi Damai di DPRK Mimika

Rabu, 17 Desember 2025 - 12:45 WIB

Sumitro Djojohadikusumo: Pahlawan Nasional yang Terlambat Diakui Negara

Berita Terbaru

Ilustrasi seorang lelaki tua duduk termenung dengan tatapan berat, menggambarkan pergulatan batin para pensiunan yang menghadapi penurunan pendapatan di masa senja. Janggut putih dan gurat usia pada wajahnya melambangkan perjalanan panjang pengabdian hidup yang kini diuji oleh kebijakan fiskal negara.

Berita Utama

Menakar Keadilan Pemungutan Pajak atas Pendapatan Hari Tua

Kamis, 18 Des 2025 - 13:26 WIB