SUARA UTAMA- Bayangkan Anda tamu penting yang datang ke sebuah daerah. Yang disuguhkan bukan potensi, tapi kemiskinan. Derita. Keluhan. Apakah Anda tertarik membangun kerja sama?
Dalam banyak forum, kita sering mendengar kritik terhadap pejabat atau tokoh masyarakat yang menampilkan sisi keberhasilan daerahnya saat menyambut tamu—baik pejabat tinggi maupun calon investor.
Kolam-kolam udang, sawah menghijau, panen kebun yang melimpah, dan senyum warga penuh harapan sering menjadi pemandangan yang disuguhkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu muncul suara sinis: “Itu cuma hiasan. Faktanya masih banyak yang hidup dalam kesulitan.”
Kritik seperti itu tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun mari kita bertanya lebih dalam:
Saat ingin menarik perhatian dan membangun kepercayaan, apakah kita sebaiknya menjual derita? Atau menunjukkan peluang?
Menjual optimisme bukan berarti memoles kenyataan. Bukan menutupi kesusahan. Justru sebaliknya—ia adalah strategi cerdas untuk membangun harapan, membangkitkan kepercayaan, dan mengundang partisipasi yang bermakna.
Optimisme menunjukkan bahwa di balik tantangan, ada daya hidup. Ada potensi. Dan ketika itu ditampilkan dengan jujur dan bijak, kerja sama bisa dibangun di atas dasar kesetaraan—bukan karena rasa iba.
Kita ingin dikenal bukan sebagai wilayah yang meminta-minta, tapi sebagai tanah yang mengandung semangat juang dan daya saing.
Sebaliknya, mentalitas menjual kemiskinan justru sering menjatuhkan kita ke posisi inferior. Kita jadi hanya penerima belas kasih.
Bantuan yang lahir dari rasa iba biasanya bersifat jangka pendek, tanpa keberlanjutan. Sementara optimisme membuka jalan menuju kolaborasi yang lebih kokoh dan saling menguntungkan.
Kolam tambak yang panen, sawah yang menghijau, kebun yang produktif—itu bukan pencitraan. Itu bukti bahwa tanah ini subur dan rakyatnya punya tekad. Maka tugas kita adalah menjadikan keberhasilan itu sebagai cermin bagi yang belum berhasil, bukan sebagai topeng yang menutup-nutupi kenyataan.
Bahkan, menampilkan keberhasilan bisa menjadi jembatan empati: “Ini loh, kalau kita kerja sama, hasilnya bisa seperti ini.”
Kuncinya adalah keseimbangan. Tampilkan keberhasilan sebagai daya tarik, sambil menyusun rencana yang konkret untuk memberdayakan mereka yang masih tertinggal. Dengan begitu, kita membentuk narasi: bahwa daerah ini tidak sekadar butuh ditolong, tetapi layak diajak maju bersama.
Optimisme bukan topeng. Ia adalah bahan bakar. Berhentilah menjual kemiskinan. Mari jual harapan, kerja keras, dan semangat bangkit.
Sebab dari situlah martabat kita tumbuh, dan masa depan yang lebih baik bisa dimulai—dengan kepala tegak, bukan tangan yang menengadah.
Penulis : Nafian Faiz, Jurnalis pernah menjadi Kepala Desa 2 Preode, akitivis sosial tinggal di Lampung.














