SUARA UTAMA, Lampung Selatan- Di tengah sejuknya udara dan rindangnya pepohonan Desa Kuripan, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, sebuah peristiwa langka yang sarat makna berlangsung khidmat.
Prosesi adat penobatan pemimpin Keratuan Darah Putih-sebuah garis keturunan tua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Lampung, bahkan memiliki ikatan darah dengan Pahlawan Nasional Raden Intan II- kembali digelar setelah lebih dari dua dekade berlalu, menghadirkan denyut sejarah yang kembali hidup dalam balutan budaya leluhur.
Puncak perhelatan Gawi Nyambai Bujenong Jakhu Makhga berlangsung pada Rabu (14/5/2025), disaksikan ratusan masyarakat dari Kalianda dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hadir pula para tokoh adat serta jajaran pemerintah daerah, termasuk Wakil Bupati Lampung Selatan, M. Syaiful Anwar. Semua menyatu dalam suasana sakral yang menyelimuti Lamban Balak—rumah adat kebanggaan warga Kuripan Penengahan.
Hari itu, Lamban Balak menjadi saksi sejarah penobatan Gusti Putra Aji sebagai Raden Imba Kesuma Ratu V, penerus tahta adat Keratuan Darah Putih. Bersamaan itu, Wulan Rezky Amalya dikukuhkan sebagai Khatu Khunjungan.
Keduanya bukan hanya mengikat janji suci sebagai suami istri, tetapi juga menerima amanah sebagai penjaga nilai-nilai adat dan budaya Lampung.
Prosesi ini merupakan peristiwa bersejarah yang terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1998. Kini, di hadapan generasi muda yang belum pernah menyaksikan warisan leluhur secara langsung, adat yang hampir senyap itu kembali menggema dengan penuh wibawa.
Rangkaian Gawi Adat telah dimulai sejak Rabu (7/5), dengan tahapan awal Ngitai Maju—masa persiapan batin dan adat keluarga besar. Hari demi hari dilalui dengan ketekunan dan ketelitian, hingga tiba pada prosesi puncak Nyecup, ketika Dalom Kesuma Ratu secara resmi menyerahkan gelar kehormatan kepada putra sulungnya.
Usai penobatan, doa adat dipanjatkan, dipimpin oleh Penghulu Desa Kuripan. Suasana yang semula tenang berubah menjadi haru saat satu per satu tokoh adat dan tamu undangan menyampaikan ucapan selamat—sebuah penghormatan atas kelahiran kembali simbol pemersatu adat.
Sohari (55), tokoh adat yang menyandang gelar Raden Mas, tak kuasa menyembunyikan rasa bangganya.
“Ini bukan sekadar upacara. Ini adalah pengukuhan jati diri. Ketika seorang anak dianggap siap, ia harus ‘diturunkan’ menurut adat. Di sinilah nilai, warisan, dan penghormatan terhadap leluhur hidup kembali,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia mengaku terakhir kali menyaksikan prosesi semacam ini pada tahun 1998.
“Tahun depan belum tentu saya masih bisa melihat ini. Maka hari ini, saya ingin menikmati setiap detiknya sepenuh hati,” katanya lirih.

Yulyana (45), warga Penengahan yang kini merantau di Bandar Lampung, turut hadir bersama beberapa anggota keluarga.
“Dengan dua mobil, kami dari Bandar Lampung sudah tiba sejak Selasa malam,” tuturnya.
Menurutnya, mereka adalah warga asli Penengahan yang ingin menunjukkan cinta dan penghormatan kepada pemimpin adat serta budaya Lampung.
“Saya sempat gemetar saat tabuhan gamolan mengiringi prosesi. Rasanya seperti dipanggil pulang oleh suara leluhur,” ucapnya terharu.
“Tadinya saya ingin mengajak anak gadis saya agar ia tahu adat istiadat dan budaya leluhur—apalagi ada acara khusus untuk Muli Makhanai (Bujang-Gadis). Tapi sayang, dia harus masuk kuliah.” Tutup Yulyana.
Pihak keluarga besar Keratuan Darah Putih menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada semua tamu yang telah hadir, mendoakan, dan menjadi bagian dari upaya menjaga marwah budaya Lampung.
Di tengah zaman yang bergerak serba cepat dan instan, Gawi Nyambai mengajarkan kita untuk melambat sejenak, menoleh ke belakang, dan menghormati akar-akar budaya yang membentuk jati diri. Sebab tanpa akar, pohon kehidupan akan rapuh. Dan tanpa tradisi, masa depan kehilangan ruhnya.
Penulis : Nafian Faiz














