SUARA UTAMA – Gelombang massa Partai Buruh dan serikat pekerja yang memenuhi kawasan Gedung DPR RI pada Kamis, 28/8/2025 di Depan Gedung DPR RI/MPR RI kembali menjadi sorotan nasional. Dengan mengusung enam tuntutan utama disampaikan Ketum Partai Buruh, aksi ini menegaskan bahwa suara buruh belum sepenuhnya terwakili dalam kebijakan politik dan legislasi. Di tengah kondisi ekonomi yang kian menekan masyarakat kelas pekerja, aksi tersebut menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya hidup di ruang sidang parlemen, tetapi juga di jalanan.
Kronologi Aksi
Sejak pagi, ribuan buruh dengan atribut serikat masing-masing mulai berkumpul di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat, kemudian bergerak menuju Kompleks Parlemen Senayan. Menurut catatan kepolisian, jumlah massa diperkirakan kisaran mencapai 5.000 orang yang tergabung dari berbagai federasi serikat buruh.
Orasi-orasi bergema dari mobil komando, dipimpin Presiden Partai Buruh Said Iqbal, yang menegaskan enam tuntutan utama. Spanduk dan poster berisi seruan “Cabut UU Cipta Kerja”, “Tolak Upah Murah”, hingga “Buruh Bukan Objek Politik” membentang di sekitar gerbang DPR.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Situasi sempat memanas ketika sebagian massa mencoba merangsek mendekat ke pagar DPR. Namun, aparat kepolisian menjaga dengan pengawalan ketat. Aksi berlangsung relatif tertib, ditutup dengan doa bersama dan janji melanjutkan konsolidasi bila tuntutan tak digubris.
Enam Tuntutan Aksi Demo Partai Buruh
Dalam orasinya, Ketum Partai Buruh Said Iqbal menegaskan enam poin utama:
- Hapus outsourcing dan tolak upah murah.
- Stop Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan bentuk Satgas PHK untuk perlindungan pekerja.
- Reformasi pajak perburuhan, meliputi: kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan, penghapusan pajak pesangon, pajak Tunjangan Hari Raya (THR), pajak Jaminan Hari Tua (JHT), serta penghapusan diskriminasi pajak terhadap perempuan menikah.
- Sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan tanpa Omnibus Law.
- Sahkan RUU Perampasan Aset dan berantas korupsi.
- Revisi RUU Pemilu untuk mendesain ulang sistem Pemilu 2029 agar lebih adil dan representatif.
Tuntutan ini bukan hanya isu klasik dunia perburuhan, tetapi juga menyentuh dimensi pajak, hukum, antikorupsi, hingga demokrasi elektoral—menjadikan aksi buruh kali ini lebih komprehensif dan politis dibanding sebelumnya.
Respons DPR
Sejumlah anggota DPR dari Komisi IX dan XI menyatakan akan menampung aspirasi buruh. Namun, Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa mekanisme pembahasan legislasi tetap harus melalui prosedur resmi. “DPR terbuka menerima aspirasi masyarakat, termasuk dari buruh, tapi pembahasan RUU tidak bisa dilakukan secara emosional, melainkan berdasarkan aturan main yang ada,” ujarnya.
Di sisi lain, beberapa fraksi koalisi pemerintah menilai sebagian tuntutan, terutama terkait pajak perburuhan, perlu kajian lebih mendalam agar tidak membebani fiskal. Sedangkan fraksi oposisi mendorong agar DPR serius menindaklanjuti, mengingat isu ketenagakerjaan adalah problem struktural yang menyangkut jutaan rakyat.
Pandangan Media Nasional
Sejumlah media arus utama menyoroti aksi ini dengan sudut pandang berbeda.
- Kompas menekankan bahwa aksi buruh merupakan konsekuensi dari kebijakan legislasi yang terburu-buru tanpa partisipasi publik yang memadai.
- Tempo melihatnya sebagai “alarm demokrasi” yang mengingatkan DPR agar tidak melupakan peran sebagai representasi rakyat, bukan hanya kepentingan elite ekonomi.
- Media Indonesia memberi catatan bahwa tuntutan pajak buruh dan reformasi ketenagakerjaan harus ditimbang dengan rasionalitas fiskal dan daya saing investasi, meski tetap menegaskan pentingnya perlindungan tenaga kerja.
Analisis Pakar
Pakar politik dari Universitas Indonesia, Dr. Hurriyah, menilai aksi Partai Buruh adalah bentuk artikulasi politik kelas pekerja yang selama ini terpinggirkan. Menurutnya, “Partai Buruh mencoba menembus batas: dari sekadar gerakan jalanan menuju politik elektoral. Namun tantangannya besar, karena realitas politik Indonesia masih didominasi oligarki partai besar.”
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Tadjuddin Nur Effendi, menegaskan bahwa tuntutan soal upah layak, larangan outsourcing, serta penghapusan pajak buruh adalah wajar. “Negara seharusnya hadir memberi proteksi. Jika hanya mengejar iklim investasi, buruh akan semakin terpinggirkan.”
Sementara pengamat hukum tata negara, Refly Harun, menggarisbawahi pentingnya revisi RUU Pemilu. Menurutnya, “Tuntutan buruh soal desain ulang Pemilu 2029 adalah terobosan. Buruh tidak hanya bicara kesejahteraan, tapi juga demokrasi representatif. Inilah bukti mereka ingin menjadi aktor politik, bukan sekadar obyek.”
Antara Realitas dan Harapan
Aksi Partai Buruh di Senayan menunjukkan bahwa harapan rakyat pekerja masih hidup, meski kerap terbentur realitas politik. DPR, sebagai representasi rakyat, ditantang untuk membuktikan apakah suara jalanan bisa diakomodasi dalam legislasi. Jika tuntutan buruh terus diabaikan, bukan tidak mungkin gelombang aksi akan semakin besar dan bertransformasi menjadi kekuatan politik nyata.
Kesimpulan : Demo buruh kali ini tidak sekadar rutinitas tahunan. Enam tuntutan yang diusung adalah refleksi kegelisahan rakyat pekerja terhadap arah kebijakan negara—dari upah dan pajak, hingga demokrasi dan antikorupsi. Media nasional memberi sorotan beragam, sementara para pakar menegaskan perlunya negara hadir lebih serius.
Pada akhirnya, pertanyaan mendasar tetap sama: mampukah realitas politik menjawab harapan rakyat pekerja, ataukah suara buruh akan kembali tenggelam dalam kompromi elite?
Presiden Prabowo Subianto akhirnya turut menanggapi aksi ini. Dalam keterangannya di Istana Negara, ia menyatakan pemerintah membuka ruang dialog. “Saya memahami keresahan buruh. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat pekerja, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi. Saya minta DPR dan kementerian terkait menampung aspirasi enam tuntutan Partai Buruh ini, lalu mencari solusi terbaik yang adil bagi pekerja dan juga berkelanjutan bagi bangsa,” ujar Prabowo.
Pernyataan ini memberi sinyal bahwa isu buruh kini masuk ke lingkar pusat kekuasaan. Namun, realitas politik masih akan menguji: apakah komitmen presiden dan parlemen benar-benar diwujudkan, atau sekadar menjadi retorika penenang di tengah gelombang protes?














