SUARA UTAMA- Tagar #KaburAjaDulu tengah ramai menghiasi lini masa media sosial, menjadi simbol aspirasi sekaligus kegelisahan generasi muda, khususnya Gen Z, yang ingin mencoba peruntungan di luar negeri.
Bagi sebagian besar anak muda, bekerja di luar negeri adalah mimpi yang menawarkan gaji tinggi, pengalaman global, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, sebelum memutuskan “kabur,” penting bagi Gen Z dan orang tua mereka untuk memahami bahwa di balik gemerlapnya, ada realita dan persiapan yang harus dihadapi dengan matang.
Fenomena ini bukan muncul tanpa sebab. Faktor ekonomi menjadi pemicu utama. Menurut laporan World Bank, gaji pekerja muda di Indonesia rata-rata berkisar antara Rp5–7 juta per bulan, sementara di negara maju seperti Singapura, Australia, atau Kanada, gaji untuk posisi serupa bisa mencapai Rp25–50 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
![KaburAjaDulu, Antara Mimpi, Peluang, dan Realita 3 IMG 20240411 WA00381 KaburAjaDulu, Antara Mimpi, Peluang, dan Realita Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama](https://suarautama.id/wp-content/uploads/2024/04/IMG-20240411-WA00381.jpg)
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya itu, jalur karier yang lebih jelas, sistem meritokrasi, dan lingkungan kerja yang menghargai kemampuan membuat banyak anak muda merasa potensi mereka lebih diapresiasi di luar negeri.
Namun, “kabur” bukan sekadar soal uang. Banyak Gen Z mendambakan kualitas hidup yang lebih baik. Survei dari ECA International menempatkan kota-kota seperti Zurich, Toronto, dan Sydney sebagai kota dengan keseimbangan hidup terbaik.
Negara-negara maju juga menawarkan sistem kesehatan unggul, keamanan sosial, dan lingkungan yang mendukung perkembangan diri. Bahkan, beberapa negara seperti Kanada, Jerman, dan Australia membuka jalur permanent resident (PR) yang jelas, memungkinkan mereka untuk tinggal lebih lama atau menetap selamanya.
Di sisi lain, tagar #KaburAjaDulu juga mencerminkan masalah dalam negeri. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat pengangguran pemuda (usia 15–24 tahun) pada 2024 mencapai 15,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.
Minimnya lapangan kerja, upah yang tidak kompetitif, serta budaya kerja yang masih dipenuhi nepotisme membuat banyak anak muda kehilangan harapan. Ditambah lagi, dampak pandemi, krisis ekonomi, hingga sulitnya akses modal usaha memperkuat dorongan untuk mencari peluang di luar negeri.
Namun, apakah bekerja di luar negeri benar-benar seindah unggahan media sosial? Realitanya, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Hambatan bahasa, perbedaan budaya, hingga biaya hidup yang tinggi sering kali menjadi batu sandungan.
Di negara seperti Jepang dan Jerman, kemampuan bahasa lokal menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Selain itu, urusan visa kerja, izin tinggal, dan peraturan pajak bisa menjadi rumit dan memakan waktu.
Tak sedikit pula yang mengalami kesepian karena jauh dari keluarga, bahkan menghadapi diskriminasi di tempat kerja.
Di sinilah peran orang tua menjadi penting. Alih-alih hanya melarang atau membiarkan anak-anak mereka pergi tanpa bekal, orang tua sebaiknya turut membimbing dalam membuat keputusan.
Bekerja di luar negeri bukan masalah “kabur,” melainkan tentang merencanakan masa depan dengan matang. Gen Z perlu menyiapkan mental yang kuat, kemampuan bahasa asing, dan keterampilan yang relevan secara global.
Selain itu, penting untuk memiliki dokumen resmi yang lengkap, termasuk visa kerja dan asuransi kesehatan, serta dana darurat minimal untuk hidup 3–6 bulan pertama.
Orang tua juga dapat membantu anak-anak mereka memahami hak dan kewajiban sebagai pekerja migran. Memahami kontrak kerja, hukum ketenagakerjaan, serta membangun jaringan sebelum berangkat dapat mengurangi risiko masalah di kemudian hari.
Selain itu, komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangat penting agar mereka tetap mendapatkan dukungan emosional meski berada jauh.
Fenomena #KaburAjaDulu seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak. Bagi Gen Z, ini adalah panggilan untuk bermimpi besar tetapi tetap realistis. Bagi orang tua, ini adalah kesempatan untuk menjadi pendukung dan pembimbing yang bijak. Dan bagi pemerintah, ini adalah peringatan bahwa jika kondisi dalam negeri tidak membaik, gelombang “kabur” ini akan terus berlangsung.
Namun, mari bertanya lebih jauh: Apakah benar kita ingin “kabur” atau sebenarnya kita hanya ingin kesempatan yang lebih baik? Dan apakah Indonesia akan tetap membiarkan anak-anak muda terbaiknya pergi, atau justru mulai menghadirkan alasan yang cukup kuat untuk pulang dan membangun negeri ini?
Referensi
1. Perbandingan Gaji Fresh Graduate:
– CNBC Indonesia. (2024). Data Terbaru Gaji Fresh Graduate Singapura Naik Jadi Rp50 Juta.
– Prosple Indonesia. (2024). Rata-rata Gaji Fresh Graduate di Berbagai Bidang.
2. Tingkat Pengangguran Pemuda di Indonesia:
– Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Kelompok Umur.
– Tempo.co. (2024). Jumlah Pengangguran di Indonesia Tembus 7,2 Juta Orang.
3. Kualitas Hidup di Kota-Kota Global:
– ECA International. (2024). Global Liveability Report 2024.
4. Peluang Permanent Resident (PR):
– Immigration, Refugees and Citizenship Canada (IRCC). (2024). Pathways to Permanent Residence for Foreign Workers.
– Australian Government – Department of Home Affairs. (2024). Skilled Migration Program Information.
– Make-it-in-Germany.de. (2024). Germany Work Visa for Skilled Workers.
5. Tantangan Bekerja di Luar Negeri:
– Kementerian Luar Negeri RI. (2024). Panduan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
– International Labour Organization (ILO). (2024). Labour Migration in Asia Pacific.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung