Pada saat Pemilu 2024, politik identitas kembali menjadi topik hangat yang menarik perhatian banyak kalangan. Dalam konteks pemilihan umum yang telah berlangsung pada 14 Februari 2024, isu ini telah memainkan peran penting dalam menentukan arah dukungan politik masyarakat. Politik identitas merujuk pada penggunaan atribut sosial seperti suku, agama, dan kelompok tertentu untuk meraih dukungan pemilih, yang dapat memicu polarisasi di tengah masyarakat.
Beberapa riset menunjukkan bahwa terdapat dua kubu pandangan menjelang pemilu ini. Kubu pertama memperkirakan akan terjadi “tsunami politik identitas,” di mana isu-isu identitas akan mendominasi kampanye dan diskusi publik. Sebaliknya, kubu kedua berargumen bahwa politik identitas sudah tidak relevan lagi dalam konteks masyarakat yang semakin modern dan pluralis.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengingatkan bahwa politik identitas dapat menjadi alat bagi oknum politisi untuk meraih keuntungan, sehingga kolaborasi dengan tokoh agama dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan isu identitas. Dengan lebih dari 200 juta pemilih yang akan terlibat, termasuk generasi muda yang menjadi pemilih pemula, pemilu ini berpotensi menjadi titik balik dalam cara politik identitas dipahami dan diterapkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Paradoks Politik identitas dan polarisasi Masyarakat
Secara sosiologis pemaknaan terhadap politik identitas tidak tunggal.
Menurut Kiftiyah (2019), politik identitas adalah cara-cara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena adanya persamaan identitas baik agama, ideologi, ras, etnis, maupun gender. Menurut Dhani (2019) dan Zahrotunnimah (2018), politik identitas adalah sarana politik untuk merebut kekuasaan yang berbasis pada hubungan antara identitas sosial dan politik.
Sementara, menurut Weir (2008), politik identitas merupakan proses yang aktif sekaligus kompleks dalam konteks individu maupun kelompok dengan menggunakan politik melalui serangkaian proses identifikasi, penyatuan, pemaknaan, dan penciptaan narasi baru.
Sementara menurut Bowen (2021) merupakan cara yang digunakan untuk memperluas klaim superioritas berbasis identitas. Dalam konteks politik dan demokrasi modern, politik identitas tidak terlepas dari pertautan antara kekuasaan, kepentingan, dan relasi antara mayoritas-minoritas (Machlis,2022) .
Identitas merupakan sebuah terminologi yang memiliki definisi satu untuk beberapa dan beberapa untuk satu (wawancara Syed Farid Alatas, 2022).
Identitas dapat dipahami dalam arti yang luas (jika terkait dengan segala yang ada dalam diri manusia), dan dalam arti yang sempit (sesuatu yang khas dari individu atau kelompok), bahkan identitas dapat berarti tidak berarti apapun (sebab ambiguitas) (Brubaker & Cooper, 2000). Identitas juga Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol.4 No.2, Mei 2023 www.journal.kpu.go.id
menurut Castells (2010) dapat menjadi sumber makna dan pengalaman bagi setiap orang, selaras dengan Yates (2015) yang menitikberatkan identitas itu menjadi makna karena terbentuk melalui interaksi yang berkelanjutan antara jiwa, budaya, dan masyarakat kemudian menjadi skema kognitif yang menyediakan kerangka untuk menginterprestasi pengalaman dan menentukan siapa dan akan menjadi apa kita di kemudian hari (Stryker & Burke,2000).ttps://www.researchgate.net/profile/Mansurni-Abadi/ publication/ Politik identitas merujuk pada praktik politik yang menonjolkan identitas kelompok tertentu, baik itu berdasarkan agama, etnis, gender, atau budaya sosial. Sebagai sarana untuk memperoleh dukungan politik.
Dalam konteks pemilu 2024, politik identitas memainkan peran penting dalam menarik simpati kelompok, tertentu. Isu agama, khususnya perbebedaan anara islam dan non islam, identitas etnis seperti jawa, melayu, batak atau suku lainnya sering di jadikan alat untuk memobilitas massa.
Pilpres 2019, isu agama dan identitas etnis sempat mencuat dalam kampanye, yang kemudian memecah opini publik menjadi kubu besar. Pendukung calon yang identitasnya lebih religius dan kelompok yang mengedepankan pluralisme. Kemajuan teknologi dan media sosial turut memperburuk perpecahan ini.
Narasi berbagai identitas seringkali lebih mudah diterima dan disebar luas, yang memperburuk polarisasi. Kelompok dengan pandangan serupa berkomunikasi lebih intensif, memperkuat pandangan mereka, dan menjauhkan dari sudut pandang yang berbeda.
Polarisasi masyarakat terjadi ketika perbedaan pandangan dan nilai yang ada di tengah masyarakat semakin memperlebar jurang pemisah antara kelompok sosial. Polarisasi ini sering kali dipicu oleh politik identitas, yang memperburuk ketenangan antara berbagai kelompok.
Masyarakat telah semakin terbagi antara pendukung, calon presiden, partai politik, atau isu tertentu, yang masing-masing mewakili kelompok dengan pandangan ideologi yang berbeda. Hal ini bisa menciptakan”dua dunia” yang saling bertentangan, di mana perbedaan pandangan sulit untuk dijembatani.
Ketika politik identitas semakin kental, polarisasi ini bisa berujung pada konflik sosial tingkat masyarakat. Perbedaan keyakinan politik yang berakar pada identitas dapat memicu ketegangan antar kelompok, seperti yang terjadi pada Pilkada Jakarta 2017.
Ketegangan tersebut bukan hanya terjadi di arena politik, tetapi juga merembet ke kehidupan sehari-hari, bahkan mempengaruhi hubungan sosial antar individu.
Pengaruh terhadap Pelaksanaan Demokrasi ?
1.Mengurangi Kualitas Dialog Politik: Politik identitas cenderung menyempitkan ruang untuk diskusi politik yang sehat dan berbasis substansi.
2.Menghambat Persatuan Sosial: Polarisasi masyarakat yang disebabkan oleh politik identitas dapat memperburuk keretakan sosial di masyarakat.
3.Memperburuk Polarisasi Partai Politik: Partai politik yang mengandalkan politik identitas cenderung lebih mementingkan pemilih berdasarkan identitas tertentu daripada membangun koalisi berbasis ideologi atau program kebijakan yang lebih luas.
4.Meningkatkan Risiko Konflik Sosial: Polarisasi yang intens dapat memicu ketegangan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, terutama ketika isu identitas dipolitisasi secara berlebihan.
5.Menurunkan Partisipasi Politik yang Konstruktif: Ketika masyarakat terbagi tajam oleh politik identitas, orang cenderung lebih memilih untuk berpartisipasi dalam politik berdasarkan loyalitas kelompok daripada berdasarkan pemikiran yang kritis dan substansial terhadap kebijakan publik.
- Melemahnya Institusi Demokrasi: Politik identitas yang mendorong polarisasi dapat membuat institusi demokrasi seperti parlemen, lembaga peradilan, dan badan pengawas menjadi kurang efektif.
8.Kesulitan Dalam Pembuatan Kebijakan yang Inklusif: Ketika kebijakan politik lebih difokuskan pada kepentingan identitas kelompok tertentu, kebijakan tersebut mungkin tidak mempertimbangkan kebutuhan seluruh masyarakat secara adil.
Solusi dan Upaya Demokrasi ?
Untuk mengeliminasi Pengaruh negatif politik identitas dan polarisasi terhadap demokrasi :
1.Pendidikan politik (Politic education) yang lebih luas untuk membangun kesadaran tentang pentingnya pendidikan berbasis substansi, bukan identitas semata.
2.Penguatan regulasi kampanye yang menanggulangi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang berbasis identitas.
3.Himbauan dialog antar kelompok yang berbeda untuk membangun pemahaman dan rasa saling menghargai di antara masyarakat.
4.Mendorong politik berbasis kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada politik identitas sempit.
Dengan pendekatan ini, diharapkan demokrasi dapat bertahan dan berkembang dengan cara yang lebih inklusif dan konstruktif.
Kesimpulan : Pasca Pemilu 2024 menghadirkan tantangan besar dalam menjaga perbedaan sosial di tengah penggunaan politik identitas yang berpotensi memperparah polarisasi masyarakat. Penting bagi seluruh pihak pemerintah, masyarakat, penyelenggara pemilu, dan media untuk berkolaborasi mendorong praktik politik yang yang sehat dan inklusif. dengan upaya kolektif, indonesia dapat menjalani proses demokrasi yang adil tanpa mengorbankan persatuan bangsa. https://www.uii.ac.id/)
Penulis : Tonny Rivani