SUARA UTAMA – Jakarta, 23 September 2025 – Inflasi dan deflasi tetap menjadi indikator utama dalam membaca arah perekonomian Indonesia. Inflasi mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum, sementara deflasi menunjukkan penurunan harga dalam periode tertentu. Keduanya sama-sama memiliki implikasi besar terhadap kesejahteraan masyarakat, stabilitas fiskal, dan arah kebijakan negara.
Inflasi vs Deflasi
Inflasi dalam batas wajar menandakan ekonomi bergerak normal, konsumsi tetap berjalan, dan perusahaan mampu menyalurkan produksinya. Namun, inflasi tinggi bisa menekan daya beli, meningkatkan ongkos produksi, serta memperparah ketidakadilan sosial.
Sebaliknya, deflasi bisa menjadi “jebakan sunyi”: harga turun, konsumsi melemah, perusahaan menunda investasi, dan pengangguran meningkat. Tidak mengherankan bila pemerintah berupaya menjaga inflasi agar tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia 2,5% ±1%.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi Indonesia Terkini
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Indonesia pada Agustus 2025 sebesar 2,31% year-on-year (YoY), turun tipis dari Juli yang berada di angka 2,37% YoY. Meski sempat terjadi deflasi pada Februari 2025 (-0,09%), tren tersebut tidak berlanjut dan perekonomian kembali menunjukkan stabilitas harga.
Beberapa faktor pendorong inflasi berasal dari sektor pangan, terutama beras, serta biaya pendidikan. Sementara sejumlah harga hortikultura seperti cabai dan bawang memberi andil pada peredaan harga.
Komentar Ekonom
Ekonom senior KADIN sekaligus konsultan pajak, Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, menegaskan bahwa meski angka inflasi relatif aman, tekanan pada kebutuhan pokok tidak boleh dianggap remeh.
“Inflasi Indonesia masih dalam koridor sehat. Tetapi beras adalah komoditas politis sekaligus sosial. Jika harganya naik terus, maka stabilitas politik ikut terancam karena menyentuh langsung kehidupan rakyat kecil,” ujarnya kepada SUARA UTAMA.
Yulianto juga menambahkan bahwa persepsi masyarakat sering kali lebih berpengaruh daripada data statistik resmi.
“Angka inflasi boleh stabil, tetapi jika masyarakat merasa harga-harga tidak terjangkau, legitimasi kebijakan pemerintah bisa terganggu. Pemerintah harus mampu menjembatani jurang antara data dan realitas di lapangan,” jelasnya.
Dimensi Politik-Fiskal
Stabilitas inflasi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan fiskal yang ketat. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini menegaskan komitmennya mempertahankan batas defisit APBN 3% dan rasio utang 60% terhadap PDB, meskipun DPR RI telah memasukkan revisi UU Keuangan Negara dalam Prolegnas Prioritas 2026.
Artinya, ruang fiskal pemerintah untuk intervensi harga dengan subsidi maupun bansos tetap terbatas. Di sisi lain, tekanan politik menjelang pembahasan RAPBN 2026 akan semakin kuat, terutama karena partai politik cenderung mendorong belanja populis untuk menarik simpati publik.
Tantangan ke Depan
Jika inflasi melonjak di atas target, masyarakat akan menanggung beban berat, sementara jika inflasi ditekan terlalu rendah hingga berisiko deflasi, ekonomi bisa kehilangan momentum pertumbuhan. Pada titik inilah dilema fiskal muncul: menjaga disiplin anggaran sambil memenuhi ekspektasi masyarakat yang menghadapi harga pangan mahal.
Indonesia perlu menyeimbangkan kebijakan moneter BI dengan kebijakan fiskal pemerintah agar tidak terjebak pada ekstrem inflasi maupun deflasi. Dengan kata lain, stabilitas harga bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal legitimasi politik dan keberlangsungan pemerintahan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














