SUARA UTAMA – 24 Agustus 2025 – Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, mengemukakan sebuah usulan penting yang dapat membawa perubahan signifikan dalam sistem perpajakan di Indonesia, khususnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia mengusulkan agar anggota DPR mengurus kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 mereka secara mandiri, tanpa lagi ditanggung oleh negara, sebagaimana yang dilakukan oleh wajib pajak pada umumnya. Usulan ini muncul setelah adanya polemik mengenai tunjangan anggota DPR yang mencakup PPh 21 yang dibiayai oleh negara.
Huda berpendapat bahwa jika anggota DPR diwajibkan untuk membayar pajak mereka secara pribadi, hal ini tidak hanya akan mengurangi kontroversi di kalangan masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak. “Penting untuk memahami bahwa anggota DPR, sebagai individu yang memiliki penghasilan tetap dan kemampuan untuk membayar pajak, seharusnya mengurus kewajiban pajaknya dengan cara yang sama seperti wajib pajak lainnya. Ini adalah langkah menuju keadilan perpajakan yang lebih baik,” ujar Huda.
Dalam pandangannya, pembayaran pajak oleh negara bagi pejabat negara, ASN, TNI, Polri, serta pensiunan, yang dikenal dengan istilah pajak DTP (Ditanggung Pemerintah), memang sudah berjalan lama. PPh 21 yang dikeluarkan bagi kelompok pejabat ini, termasuk anggota DPR, ditanggung oleh pemerintah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Huda menyatakan bahwa meskipun menghapuskan fasilitas pajak DTP ini tidak langsung menghemat anggaran negara, hal ini hanya akan memindahkan beban anggaran dari satu pos ke pos lainnya, tanpa mengurangi beban total negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, meskipun ada efek anggaran yang minimal, Huda menilai penghapusan fasilitas pajak DTP ini seharusnya tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan transparansi dalam sistem perpajakan di Indonesia. Dengan anggota DPR yang membayar pajak mereka secara mandiri, masyarakat tidak lagi akan mempertanyakan siapa yang menanggung pajak mereka atau apakah ada aliran dana yang tidak jelas. “Pembayaran pajak secara pribadi ini akan menunjukkan bahwa para pejabat negara, termasuk anggota DPR, siap untuk memenuhi kewajiban pajak mereka dengan cara yang lebih terbuka dan tidak bergantung pada anggaran negara,” tambah Huda.
Usulan ini juga mencerminkan kebutuhan untuk merombak sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan, di mana setiap individu atau pejabat negara harus menunjukkan tanggung jawab yang sama terhadap kewajiban perpajakan. Dalam konteks ini, Huda mengingatkan bahwa sistem pajak yang berlaku saat ini harus memberikan keadilan kepada seluruh wajib pajak, tidak terkecuali pejabat publik. Pembayaran pajak yang dilakukan secara mandiri oleh anggota DPR juga menjadi simbol bahwa semua pihak, tanpa terkecuali, memiliki kewajiban yang sama untuk menyumbangkan bagian mereka untuk pembangunan negara.
Konsultan Pajak Senior dan juga merangkap Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, memberikan pandangannya terkait dengan usulan tersebut. Yulianto tidak setuju jika PPh 21 tetap dibayar oleh negara. Ia berpendapat bahwa tunjangan pajak yang diberikan kepada pejabat negara, termasuk anggota DPR, merupakan bagian dari penghasilan yang harus dihitung kembali dengan pendekatan gross tax. “Pajak PPh 21 yang dibayar oleh negara justru memperburuk transparansi, karena tidak mencerminkan kewajiban pajak yang sebenarnya. Sebaiknya, setiap penghasilan, termasuk tunjangan pajak, dihitung dengan pendekatan yang lebih realistis dan sesuai dengan prinsip pajak penghasilan yang berlaku,” ujar Yulianto. Ia menekankan bahwa penerapan kebijakan ini memerlukan evaluasi mendalam agar tidak menambah beban administratif dan kesulitan bagi pejabat negara maupun instansi terkait.
Pandangan DJP dan Implementasi Kebijakan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga memberikan klarifikasi terkait isu ini, dengan menyatakan bahwa gaji anggota DPR dan pejabat negara lainnya tetap dikenakan pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam penjelasannya, DJP merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 yang mengatur kewajiban pajak bagi pejabat negara. Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 262/PMK.03/2010, pajak PPh 21 bagi pejabat negara, termasuk anggota DPR, tetap ditanggung oleh negara.
Berdasarkan peraturan tersebut, DJP menegaskan bahwa kewajiban pajak pejabat negara adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari, meskipun pajaknya dikelola oleh negara. Pembayaran pajak pejabat negara tetap harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada, dan mekanisme pajak DTP ini hanya berlaku selama ketentuan hukum tersebut belum berubah.
Transparansi dan Kepercayaan Publik
Di sisi lain, banyak pihak yang menilai bahwa pembebanan pajak kepada anggota DPR secara mandiri akan memperkuat transparansi anggaran negara. Hal ini tentunya akan berujung pada peningkatan kepercayaan publik terhadap pemerintah, di mana para pejabat negara, khususnya anggota DPR, tidak merasa terpisah dari rakyat yang mereka wakili dalam hal kewajiban perpajakan.
Jika diterapkan, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan sistem perpajakan yang lebih terbuka, adil, dan tidak memihak. Lebih dari itu, hal ini juga bisa menjadi model bagi instansi pemerintah lainnya untuk mengelola kewajiban pajak pejabat negara dengan cara yang lebih transparan dan profesional.
Secara keseluruhan, usulan Huda untuk mewajibkan anggota DPR mengurus pajaknya secara mandiri menyoroti pentingnya prinsip transparansi dan keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia. Langkah ini bukan hanya akan mengurangi potensi polemik, tetapi juga bisa menjadi simbol perbaikan bagi pengelolaan pajak negara yang lebih baik dan lebih efisien di masa depan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














