Payakumbuh, 10 Oktober 2025 —
Pernyataan tegas datang dari tokoh adat dan pemerhati budaya Minangkabau, Saiful Guci Dt. Rajo Sampono, yang menolak tudingan bahwa ulama di Sumatera Barat, khususnya di Payakumbuh dan sekitarnya, memiliki paham radikal atau radikalisme. Menurutnya, pandangan tersebut keliru dan bertentangan dengan falsafah hidup orang Minang yang berpegang pada prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)”.
Pernyataan ini disampaikan dalam kajian adat bertajuk “Tidak Ada Ulama di Sumatera Barat yang Punya Paham Radikalisme”, yang dituangkan secara mendalam oleh Dt. Rajo Sampono di Lapau eSPe Kasiah Bundo, Jorong Pulutan, Nagari Koto Tuo, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
—
Ulama dan Citra Radikalisme
Dalam percakapannya dengan Sahbudin — warga asal Koto Nan Ampek yang kini berdomisili di Riau — Dt. Rajo Sampono menanggapi isu nasional mengenai pemberitaan “MUI Payakumbuh menolak kedatangan Ustadz Abdul Somad (UAS)” pada tahun 2024 dan “Ulama kecam panitia konser karena perubahan lirik lagu ‘Tuhan den Paso’” di tahun 2025.
Menurutnya, tudingan bahwa ulama bersikap radikal tidak berdasar.
> “Tidak ada ulama di Payakumbuh maupun di Sumatera Barat yang berpaham radikal. Falsafah hidup mereka ABS-SBK — adat bersandar pada syarak, syarak bersandar kepada Kitabullah. Prinsip ini sudah menjiwai kehidupan orang Minang sejak berabad-abad,” tegasnya.
Beliau juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Minangkabau, semangat keagamaan pernah tampak keras pada masa Perang Paderi (1803–1837). Namun, konteksnya berbeda karena saat itu perjuangan dilakukan untuk melawan penyimpangan dan penjajahan, bukan untuk menebar kekerasan.
—
Islam Menolak Radikalisme
Saiful Guci mengutip ayat Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 256:
> “Lā ikrāha fī ad-dīn” (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama).
Dari sini, ditegaskan bahwa Islam menolak segala bentuk pemaksaan, teror, dan kekerasan atas nama agama.
> “Radikalisme yang dimaknai sebagai kekerasan atau pemaksaan ideologi politik dan agama jelas bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau,” ujarnya.
—
Nasihat Ulama Adalah Bentuk Kasih Sayang
Terkait kasus lirik “Tuhan den Paso” yang memicu kecaman dari ulama, Saiful Guci menjelaskan bahwa teguran ulama bukan bentuk kebencian, melainkan nasehat untuk menjaga marwah adat dan agama.
> “Ulama itu ibarat orang tua dalam masyarakat. Kalau mereka menegur, itu tanda sayang, bukan radikal. Dalam pepatah adat dikatakan, ‘Hati-hati bajalan malam kok tataruang dek duri’ — artinya, kita diingatkan agar selalu berhati-hati dalam bertindak,” ujarnya bijak.
—
Kajian Kesalahan Menurut Adat Minangkabau
Dalam penjelasannya, Dt. Rajo Sampono mengurai empat bentuk kesalahan dalam adat Minangkabau, yaitu:
1. Salah fi’il (perbuatan): mencuri, membunuh, atau tindakan nyata lainnya.
2. Salah kurenah (perangai): kebiasaan atau tabiat buruk yang berulang.
3. Salah kato (ucapan): memaki, menghina, atau keliru dalam perkataan — termasuk dalam konteks salah lirik lagu yang menimbulkan salah tafsir.
4. Salah i’tikad (niat): kesalahan dalam maksud hati dan pikiran yang belum tampak dalam tindakan.
Jika tidak ditemukan jenis kesalahan tersebut, maka baru dikategorikan sebagai “sumbang salah” — yakni pelanggaran etika atau kepatutan sosial.
—
Hukuman dalam Adat Minangkabau
Setelah diketahui letak kesalahan, adat menetapkan bentuk pertanggungjawaban melalui empat kategori permintaan maaf dan hukuman, antara lain:
1. Salah kepada Panghulu: diselesaikan dengan musyawarah adat, pembayaran hutang moral, atau simbolik (sirih, pinang, jamuan).
2. Salah kepada Allah: diselesaikan dengan tobat dan tidak mengulangi perbuatan salah.
3. Salah kepada Manusia: melalui permintaan maaf, jamuan, dan doa selamat.
4. Salah kepada Raja (pemerintah): dikenai sanksi adat yang dikenal dengan “Buang nan Anam”, terdiri dari:
Buang Bilah, Buang Siriah, Buang Hukum, Buang Tingkarang, Buang Puluih, dan Buang Bidak — masing-masing dengan konsekuensi sosial dan moral yang berat.
—
Makna Adat dan Nilai Keadilan
Melalui uraian panjang ini, Saiful Guci menegaskan bahwa hukum adat Minangkabau tidak hanya menilai kesalahan dari perbuatan lahiriah, tetapi juga mempertimbangkan niat, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.
> “Dalam adat, kesalahan bukan untuk dihukum semata, tapi untuk diperbaiki. Hukum adat menuntun manusia kembali ke jalan benar, bukan menjauhkan dari masyarakat,” ujarnya.
—
Kesimpulan
Pernyataan ini menegaskan bahwa ulama di Sumatera Barat bukanlah kelompok radikal, melainkan penjaga nilai luhur adat dan agama. Sikap mereka terhadap isu-isu moral, sosial, dan budaya adalah bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga harmoni antara adat, syarak, dan masyarakat.
> “Minangkabau menolak radikalisme, sebab adatnya bersandar pada syarak dan syarak bersandar pada Kitabullah. Apa yang salah dikaji, yang benar ditegakkan, semuanya untuk kemaslahatan bersama,” tutup Saiful Guci Dt. Rajo Sampono.
Penulis : Ziqro Fernando
Editor : Ziqro Fernando
Sumber Berita : Tim wartawan















