Oleh: Rinto Setiyawan
SUARA UTAMA – Jakarta, 4 September 2025 – Menteri Keuangan Sri Mulyani menulis sebuah refleksi emosional di akun Facebook-nya, menyusul penjarahan rumah pribadinya di Bintaro, Tangerang Selatan. Ia menyatakan bahwa serangan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang “terlatih dan terkoordinasi”, dan menambahkan bahwa yang dirampas bukan hanya barang, tetapi juga rasa aman, harga diri, serta rasa kepastian hukum di Indonesia.
“Lukisan Bunga itu telah raib seperti lenyapnya rasa aman, rasa kepastian hukum, dan rasa perikemanusiaan yang adil di Indonesia,” tulis Sri Mulyani dalam unggahannya yang viral, yang telah mendapat lebih dari 4.000 suka.
Namun, publik mulai mempertanyakan: bukankah rasa kehilangan itu telah lama dialami oleh jutaan wajib pajak di Indonesia, terutama di bawah sistem yang dirancang dan dilindungi oleh kementerian yang dipimpin Sri Mulyani sendiri?
Otoritarianisme Fiskal dan Ironi Keadilan
Banyak kalangan, terutama dari kelompok wajib pajak, yang telah lama menyuarakan kesulitan mencari keadilan dalam dunia perpajakan. Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, sistem perpajakan Indonesia dinilai semakin mendekati otoritarianisme. Kewenangan fiskal yang besar tidak hanya digunakan untuk menarik pajak dari rakyat, tetapi juga melindungi institusi terkait dari kritik dan evaluasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data dari tim analis Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), terdapat lebih dari 6.000 peraturan perpajakan yang harus dipahami oleh wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Tumpang tindihnya pasal-pasal, ketidakjelasan norma, serta ketidaksesuaian antara undang-undang (UU) dan regulasi teknis menjadi mimpi buruk harian bagi rakyat yang ingin taat hukum.
Lebih lanjut, saat IWPI mengajukan pertanyaan resmi tentang pengakuan Indonesia sebagai negara hukum melalui PPID Kementerian Keuangan, jawabannya justru mengalihkan tanggung jawab ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal ini menjadi ironi besar bagi kementerian yang dipimpin oleh seseorang yang mengaku menjunjung tinggi konstitusi dan prinsip-prinsip hukum.
Pengadilan Pajak: “Zona Bebas Konstitusi”?
Harapan untuk mendapatkan keadilan semakin kabur ketika perkara perpajakan memasuki Pengadilan Pajak. Laporan berbagai organisasi advokasi hukum menunjukkan bahwa majelis hakim seringkali tidak mengakui keberlakuan UU Administrasi Pemerintahan, sebuah undang-undang yang menjadi dasar evaluasi prosedur administratif dalam birokrasi.
Ironisnya, lembaga-lembaga pengawasan seperti Inspektorat Jenderal Kemenkeu, Komisi Pengawas Perpajakan, dan Ombudsman Republik Indonesia sering kali tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran administrasi oleh pegawai DJP dan DJBC, memperkuat bukti bahwa Sri Mulyani telah membangun tembok kekuasaan fiskal yang hampir tak tertembus hukum.
Ketika Rasa Dilanggar Kembali pada Sang Penguasa
Sri Mulyani kini menulis bahwa hukum telah lenyap dan ia merasa harga dirinya terkoyak. Namun, bukankah itu juga yang dirasakan oleh wajib pajak yang hartanya disita secara sewenang-wenang? Bukankah itu yang dirasakan oleh pelaku usaha yang dijatuhi hukuman karena sistem hukum pajak yang tidak transparan? Bukankah itu yang dirasakan oleh masyarakat saat melihat DPR menikmati gaji dan tunjangan bebas pajak, sementara mereka diperas sepanjang hari oleh negara yang mengklaim sedang berhemat?
Publik tentu tidak membenarkan tindakan anarki. Namun, jika seorang Menteri Keuangan merasa bisa mengajarkan adab kepada rakyat, sementara sistem fiskalnya mengabaikan keadilan, menginjak akal sehat, dan membungkam kritik maka tidak heran jika kemarahan rakyat akhirnya meledak di luar kendali sistem yang tak lagi dipercaya.
Penutup: Karma Fiskal dan Cermin Kepemimpinan
Mungkin yang menimpa Sri Mulyani adalah bentuk karma dari otoritarianisme fiskal yang selama ini ia pelihara. Mungkin ini adalah peringatan bahwa jabatan bukanlah tameng abadi dari murka publik. Saat ini, mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang: bagaimana bisa seorang Menteri Keuangan bicara tentang adab dan perikemanusiaan, sementara ia menutup kolom komentar di media sosial dan membiarkan keadilan fiskal mati perlahan?
Indonesia tidak butuh pemimpin yang hanya berbicara puitis di saat krisis. Indonesia membutuhkan pemimpin yang adil, sebelum rakyat menuntutnya dengan cara yang tidak diatur dalam undang-undang.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














