SUARA UTAMA – Surabaya, 13 November 2025 – Sekolah Negarawan bersama Komunitas Bangbangwetan dan gamelan Kiai Kanjeng menggelar forum Sinau Kebangsaan di Surabaya, Senin (10/11/2025). Dalam forum yang dihadiri ratusan peserta tersebut, Sekolah Negarawan secara resmi mendeklarasikan pembentukan Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan, sebuah gerakan moral dan kebudayaan yang menyerukan rekonstruksi pemahaman tata negara khususnya mengenai pemisahan peran antara “Negara” dan “Pemerintah”.
Acara ini digagas sebagai upaya ijtihad untuk menggali dan memformulasikan kembali pemikiran budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tentang kedaulatan rakyat, serta merespons dinamika lembaga negara yang dinilai semakin tidak sinkron.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Analogi Rumah Tangga untuk Memotret Relasi Kekuasaan
Dalam sesi paparan, perwakilan Sekolah Negarawan menyampaikan analisis menggunakan analogi “Rumah Tangga” untuk menggambarkan situasi hubungan lembaga negara saat ini.
Menurut pemateri, MPR diibaratkan sebagai ‘Suami’, Rakyat sebagai ‘Istri’ yang memiliki rumah, sementara Presiden dan Pemerintah dianalogikan sebagai ‘Asisten Rumah Tangga’ (ART) yang bekerja untuk rakyat.
“Kondisi sekarang ibarat broken home. MPR dianggap lebih dekat dengan Pemerintah, sementara Rakyat sebagai pemilik kedaulatan kurang dilibatkan. Pemerintah sejatinya adalah pelayan rakyat, bukan pihak yang dominan,” ujar perwakilan tersebut dalam forum.
Penjelasan tersebut disampaikan sebagai bentuk kritik dan penilaian akademik dari penyelenggara forum, bukan posisi resmi Suara Utama.
Suara dari Indonesia Timur: Ketimpangan SDA dan Kesejahteraan
Perspektif dari kawasan timur Indonesia turut mewarnai diskusi. Sekretaris Kesultanan Ternate, Irwan Abdul Gani, mengkritik ketimpangan distribusi hasil tambang yang dinilai merugikan masyarakat daerah.
“Maluku Utara menyumbang sekitar Rp200 triliun ke pusat, tetapi dana bagi hasil yang kembali hanya sekitar 3 persen. Rakyat di daerah penghasil justru masih hidup dalam kemiskinan,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Nuku Tidore, Idris Sudin, menegaskan bahwa terbentuknya Republik Indonesia merupakan konsensus kerajaan-kerajaan Nusantara dengan asas kesejahteraan bersama. Ia menilai janji itu belum sepenuhnya terpenuhi bagi wilayah timur.
Redefinisi Kepahlawanan di Era Kini
Momentum Hari Pahlawan turut dimanfaatkan untuk menggugah refleksi. Konten kreator Guru Gembul, sebagai narasumber, mengingatkan bahwa perdebatan gelar pahlawan masa lalu kerap mengalihkan perhatian dari kebutuhan melahirkan pahlawan masa kini.
“Pertanyaannya bukan siapa pahlawan masa lalu, tetapi siapa yang berani mengambil peran hari ini. Forum seperti ini akan sia-sia jika peserta pulang tanpa dampak konkret,” katanya.
Pakar hukum Dr. Alessandro Rey menambahkan pandangan mengenai implementasi Pasal 34 UUD 1945 yang dinilai belum berjalan efektif. Menurutnya, pemanfaatan pajak negara masih belum optimal untuk kesejahteraan publik, terutama dalam layanan kesehatan dan pendidikan.
Deklarasi Gerakan Moral dan Komitmen Perubahan
Acara yang turut diramaikan pembacaan puisi “Pahlawan” dan “Ibu” oleh penyair D. Zawawi Imron, serta musikalisasi dari Kiai Kanjeng, ditutup dengan pembacaan deklarasi Sekolah Negarawan.
Melalui Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan, Sekolah Negarawan menegaskan komitmennya untuk mengembangkan gerakan moral dan kebudayaan secara berkelanjutan. Mereka merencanakan pendidikan politik publik guna melahirkan generasi negarawan yang berpikir jernih, berjiwa luhur, serta menempatkan kepentingan bangsa di atas ambisi golongan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














