Suara Utama- kal-Bar
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat: 102)
Penjelasan Ayat
Pendapat para mufassir (Al-Maraghi, Al-Qur’anul Majid An-Nur, Al-Munir, Fi Zhilalil Qur’an, Jalalain, Al-Azhar, Ibnu Katsir, dan Al-Mishbah) tentang isi ayat QS Ash-Shaffat ayat 102 cenderung kepada kisi-kisi dasar pola komunikasi interpersonal yang dapat ditarik kepada persoalan pendidikan, seperti ketika Nabi Ismail AS tumbuh besar menjadi remaja dan mencapai usia produktif untuk bekerja.
Pada saat itu Nabi Ismail berusia tiga belas tahun, dan pada saat itu pula berkatalah Nabi Ibrahim AS kepadanya (Ismail) yang diperintahkan untuk menyembelih, “Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Beliau menyampaikannya kepada Nabi Ismail agar ia mempersiapkan diri menjalankan perintah Allah SWT dan mengharapkan pahala dengan ketundukan kepada perintah-Nya. Dan, untuk mengetahui kesabarannya terhadap perintah Allah SWT karena mimpi para nabi merupakan wahyu yang harus dilaksanakan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Interpretasi Para Mufasir
Dijelaskan dalam tafsir Al Mishbah bahwa: “Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ pada kata-kata اَرٰى dan اَذْبَحُك . Begitu juga pada kataتُؤْمَرُ.
Ini mengisyaratkan apa yang Nabi Ibrahim AS lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat menyampaikannya kepada Nabi Ismail AS.
Sedangkan kata penyembelihan untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi tersebut belum selesai dilaksanakan. Karena itu pula jawaban Nabi Ismail AS menggunakan kata kerja masa kini untuk mengisyaratkan bahwa ia siap.
Ucapan Nabi Ismail AS: “Engkau akan mendapatiku in syaa Allah termasuk para penyabar”, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun kepada Allah dan orangtuanya.
Dalam Tafsir al-Jalalain, Imam Al-Jalalain memadahkan bahwa Nabi Ismail AS baru berusia 7-13 tahun namun sudah memiliki kematangan jiwa yang tinggi atas ketaatannya kepada Allah dan baktinya kepada orangtua.
Menurut Al-Farra’, usia Ismail ketika itu 13 tahun. Nabi Ibrahim AS dengan hati yang sedih memberitahukan kepada Nabi Ismail AS tentang perintah Allah SWT yang disampaikan kepadanya melalui mimpi.
Al-Fakhr Ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātiĥ al-Ghayb menuturkan bahwa “Mimpi seorang nabi digolongkan sebagai salah satu jenis wahyu”. Mimpi ini bukan datang dari setan namun dari Allah SWT.
Menurut Tantawi Jauhari dalam Tafsir al-Wasit, musyawarah yang dilakukan Nabi Ibrahim AS bertujuan supaya Nabi Ismail AS dapat lebih menerima dan sabar atas penyembelihan dirinya sehingga akan menambah ketenangan diri Nabi Ibrahim AS sebagai sang ayah.
Selain itu, dengan usaha ini dapat terlihat kemantapan iman Nabi Ismail AS pada perintah Allah, apakah ia taat atau durhaka sebagaimana Kan’an, putra Nabi Nuh AS.
Menurut Syekh Jalaluddin Al-Mahalli bahwa kambing yang digunakan sebagai ganti dari penyembelihan tersebut merupakan sembelihan yang agung (dzibhul azhim), karena sebenarnya, kambing itu merupakan kurban Habil yang diangkat ke langit, saat Allah memerintahkannya untuk melaksanakan kurban, lalu digembalakan di surga untuk waktu yang sangat lama.
Imam Makarim Syirazi dalam tafsirnya al-Amtsal fi Tafsir Kitabillahi al-Munazzal berpendapat bahwa: “Ujian penyembelihan Ismail ini bertujuan untuk mengosongkan hati (qalb) Nabi Ibrahim AS dari cinta selain Allah SWT.”
Nilai dan falsafah yang tersirat dalam perintah penyembelihan (adz-dzabh) ini merupakan isyarat akan upaya tawajjuh kepada Allah SWT; mengosongkan hati dari segala selain Allah SWT.
Hal senada diungkapkan oleh Ibn ‘Ajibah dalam Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid. Maksud lain dari perintah menyembelih dalam mimpi Nabi Ibrahim AS merupakan manifestasi dari ketundukan kepada-Nya, bukan penyembelihan Nabi Ismail AS itu sendiri.
Lebih lanjut, dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa alangkah indahnya akhlak Nabi Ismail AS terhadap Allah, alangkah indahnya keimanannya, alangkah indahnya
ketaatannya, dan alangkah agungnya penyerahan dirinya.
Mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebutkan terlebih dahulu kehendak-Nya. Hal ini mencandrakan betapa mulianya akhlak Nabi Ismail AS kepada Allah SWT. Tidak salah lagi bahwa sang ayah telah menanamkan dan mengajarkan tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan Nabi Ibrahim AS pada ayat ini merupakan bentuk pendidikan Nabi Ibrahim AS kepada Nabi Ismail AS.
Nilai-nilai Pendidikan
QS Ash-Shaffat: 102 tersebut di atas mengandung sejumlah nilai Pendidikan. Pertama, mendidik kita menjadi hamba yang cinta kepada-Nya dan memuliakan kedua orangtua karena Allah. Kedua, mendidik kita menjadi hamba yang lemah lembut dan sopan santun dalam bertutur kata (berkomunikasi).
Ketiga, mendidik kita agar senantiasa menyadari bahwa apa yang kita miliki itu milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Keempat, mendidik kita menjadi hamba yang sabar, patuh, Ikhlas, shalih dan taat akan perintah Allah.
Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal (antarpribadi) ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, secara tatap muka dengan menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal.
Menurut sifatnya komunikasi antar pribadi dapat dibedakan atas dua macam yakni: Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yakni: percakapan, dialog, dan wawancara.
Komunikasi kelompok kecil ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, yang anggota-anggotanya saling berintekrasi antara satu dengan yang lainnya.
Komunikasi interpersonal yang efektif tercermin dari kisah Nabi Allah yaitu Nabi Ibrahim AS dengan Nabi Ismail AS yang merupakan bagian dari model komunikasi diadik yaitu dialog dan pertanyaan yang di dalamnya terkandung nilai komunikasi yang memiliki nilai etika tinggi dalam penggunaan bahasa.
Pertanyaan tersebut diajukan oleh Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail yang terdapat di ayat 102, yakni “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah bagaimana pendapat mu!” Pertanyaan tersebut diajukan kepada Nabi Ismail, agar ia turut memikirkan perintah Allah SWT yang berkenaan dengan dirinya.
Hal ini mencerminkan bahwa Nabi Ibrahim tidak memutuskan suatu perkara secara sepihak, melainkan menanyakan pendapat Nabi Ismail. Pada saat yang seperti inilah terjadi dialog antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail.
Dari kisah Nabi Ibrahim AS dapat dipahami bahwa komunikasi interpersonal antara Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, menunjukkan betapa bersahabatnya seorang ayah dan anak ketika bertutur kata, meskipun harus mengutarakan sesuatu yang pahit di hadapan anaknya.
Dalam hal ini tergambar aktualisasi komunikasi interpersonal Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya, Nabi Ismail, dalam Surah Ash-Shaffat: 100-107, yang dimulai dengan penyerahan diri secara totalitas kepada Allah sebagai bukti penghambaannya yang diiringi dengan doa. Hal ini menunjukkan bahwa Ibrahim sebagai orangtua sangat bijaksana mengajarkan nilai-nilai ketuhanan kepada anaknya sebagai landasan hidup. Allah berfirman:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ(١٠٠) فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ(١٠١) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ(١٠٢) فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ(١٠٣) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ(١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥)اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ(١٠٦) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٧)
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (100). Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail) (101). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; in syaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’ (102) Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah) (103). Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu (104), sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 106). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (107)”
Nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam komunikasi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dari QS Ash-Shaffat ayat 100-107, di antaranya: 1) Demokratis, 2) Iman yang kokoh, 3) Akhlak terpuji, 4) Taat kepada orangtua, 5) Sabar, 6) Sopan santun dalam menjawab pertanyaan, 7) Tawakal, dan 8) Berbuat kebaikan.
Rahasia ketaatan Nabi Ismail AS kepada Allah dan orangtuanya yaitu ayahnya, Nabi Ibrahim AS. Beliau sosok seorang ayah yang sangat sayang dan lembut pada anak dan keluarganya, sebagaimana Nabi Ibrahim AS menyayangi ayahnya (Azar) namun ayahnya enggan mengikuti agama Nabi Ibrahim AS. Walaupun demikian Nabi Ibrahim senantiasa berdoa untuk ayahnya.
Allah berfirman:
يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا (٤٥) قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا(٤٦) قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا(٤٧)
“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan. (45). Dia (ayahnya) berkata, ‘Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama. (46). Dia (Ibrahim) berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku’. (47)” (QS Maryam: 45-47)
Buya Hamka dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mengedepankan akhlak mulia saat berkomunikasi dengan ayahnya. Nabi Ibrahim tetap menggunakan kata-kata yang sopan walaupun mengetahui ayahnyalah yang membuat patung untuk disembah sebagai Tuhan.
Dalam komunikasinya dengan ayahnya, Nabi Ibrahim menggunakan kata “Ya abati” yang berarti “Wahai ayahku”. Ini merupakan bahasa yang santun dan penuh hormat. Tidak menggunakan kata “Ya walidi”, atau “Ya abi”.
Buya Hamka juga mengambil penjelasan dari Ali bin Abi Thalhah dan Al-Aufi dari sumbernya yakni Ibnu Abbas. Bahwasannya maksud dari kalimat “Maka tinggalkan aku dalam waktu yang lama” itu merupakan alasan ayahnya supaya tidak terjadi perselisihan yang sangat hebat antara dirinya dengan anaknya. Jadi, secara tidak langsung ayah Nabi Ibrahim AS mengajarkan kepada kita bahwasanya berselisih itu tidak baik.
Komunikasi interpersonal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail meliputi: 1) Metode dialog, 2) Metode diskusi, 3) Metode komunikasi informatif. Nabi Ibrahim mampu menginspirasi Ismail untuk berbuat amal baik, khususnya melakukan pengurbanan. Dari sini hal yang dapat dijadikan teladan yaitu bagaimana seorang pendidik harus mampu menjadi seorang inspirator bagi peserta didiknya dalam berbuat kebaikan. Pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan Ibrahim kepada anaknya menggunakan kalimat yang sopan, dan lemah lembut, 4) Metode komunikasi persuasif. Nabi Ibrahim mampu meyakinkan Nabi Ismail untuk menjalankan perintah Allah sehingga terciptanya pikiran, perasaan dan hati karena Allah, 5) Metode tanya jawab, 6) Menggunakan panggilan “Sayang”, 7) Metode keteladanan mendidik anak.
Teladanilah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
Allah SWT berfirman:
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِسْمٰعِيْلَ ۖاِنَّهٗ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَّبِيًّا ۚ (٥٤) وَكَانَ يَأْمُرُ اَهْلَهٗ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِۖ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهٖ مَرْضِيًّا(٥٥)
“Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. (54) Dan dia menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. (55)” (QS Maryam: 54-55)
Allah SWT juga berfirman:
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ
“Sungguh, Ibrahim seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah).” (QS An-Nahl: 120)
Cara membangun komunikasi interpersonal yang efektif orang tua dengan anak menurut Al-Qur’an. Pertama, membangun kebersamaan. Allah berfirman:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 127)
Kedua, rendah hati dan mengucapkan salam (keselamatan). Allah berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu yaitu orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS Al-Furqan: 63)
Ketiga, saling mendoakan. Allah berfirman :
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 128)
Keempat, sabar menjalankan perintah Allah. Allah berfirman:
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah: 124)
Kelima, lembut dan penyantun. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ
“Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At-Taubah: 114)
Keenam, menanamkan ketauhidan. Allah SWT berfirman:
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ
“Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim’.” (QS Al-Baqarah: 132)
Kisah Teladan
Setelah Nabi Ismail mulai mengerti dan beranjak besar, Nabi Ibrahim AS tidak hanya mengajarkan akhlak dan akidah pada Nabi Ismail dengan tutur kata, namun beliau juga memberikan teladan berupa perilaku yang baik (uswah hasanah) pada putra beliau, bahkan kepada kita, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Mumtahanah: 6:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْهِمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُو اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّ فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ ࣖ
“Sungguh, pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian, dan barangsiapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS Al-Mumtahanah: 6)
Nabi Ibrahim AS senantiasa menyertai, membersamai Nabi Ismail AS seraya berdoa memohon kebaikan-kebaikan kepada Allah SWT sebagaimana saat Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail membangun fondasi Ka’bah yang kemudian diabadikan dalam QS Al-Baqarah ayat 127.
Dalam waktu-waktu tertentu, Nabi Ibrahim pun senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak keturunan beliau, agar senantiasa diberikan petunjuk oleh Allah SWT menjalankan amal ibadah yang benar, dengan menyerahkan sepenuhnya akan masa depan dzurriyah (keturunan) beliau kepada Allah SWT (tawakkal), sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 128.
Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Ibrahim AS senantiasa memberikan nasihat-nasihat kepada putra-putra beliau. Agar mereka teguh dan kuat menjalankan agama Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 132.
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 128) []
Tags: Interpersonal