SUARA UTAMA – Jakarta, 6 September 2025. Gelombang demonstrasi yang mewarnai pekan terakhir Agustus 2025 di sejumlah daerah Indonesia kini mendapat perhatian tajam dari komunitas internasional. Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendesak pemerintah Indonesia menggelar penyelidikan menyeluruh terkait jatuhnya korban jiwa, termasuk Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang meninggal pada 28 Agustus 2025.
Juru Bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, menegaskan pihaknya mengawasi ketat dinamika di lapangan. “Kami prihatin dengan dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan. Hak masyarakat untuk berkumpul secara damai dan menyampaikan pendapat harus dihormati sesuai standar hukum internasional,” ujarnya melalui situs resmi OHCHR, Senin (1/9/2025).
OHCHR juga menekankan perlunya investigasi yang cepat, menyeluruh, dan transparan agar setiap dugaan pelanggaran HAM dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritik dari ASEAN
Sorotan serupa datang dari ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR). Dalam pernyataan pers, Jumat (29/8/2025), APHR menilai tindakan represif aparat semakin memperburuk situasi. Mereka mengutuk penggunaan gas air mata, meriam air, hingga kendaraan lapis baja untuk membubarkan massa, serta upaya penghalangan terhadap relawan medis dan jurnalis.
Menurut APHR, tuntutan massa saat itu berkisar pada isu fundamental: upah layak, kondisi kerja yang adil, transparansi anggaran, hingga penolakan atas kebijakan pertambangan yang dianggap merugikan masyarakat. Namun, alih-alih dijawab melalui dialog, aspirasi tersebut justru dijawab dengan kekerasan.
Arlene Brosas, anggota APHR asal Filipina, menegaskan pelaku kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban. Sementara Wong Chen, anggota parlemen Malaysia yang juga tergabung dalam APHR, menyebut Indonesia kini menghadapi ujian serius apakah memilih jalan reformasi atau represi.
Respons Pemerintah
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menegaskan pemerintah telah membentuk tim pemantau khusus dan membuka mekanisme pengaduan publik. “Presiden menegaskan aparat yang terbukti bersalah akan diproses sesuai hukum. Pemeriksaan internal Polri dilakukan cepat, terbuka, dan dapat dipantau publik,” kata Kemlu, Kamis (4/9/2025).
Menteri HAM Natalius Pigai menyebut kritik OHCHR terlambat. Menurutnya, Presiden Prabowo sudah lebih dahulu bertindak pada 29 Agustus dengan menemui keluarga Affan Kurniawan serta menegaskan komitmen kebebasan berekspresi sesuai International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Dampak Internasional
Ririn Tri Nurhayati, akademisi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengingatkan bahwa tekanan global tak bisa dianggap remeh. “Meski bukan Dewan Keamanan, OHCHR punya otoritas moral. Indonesia wajib menanggapi serius agar konsistensi komitmen HAM tetap terjaga,” jelasnya.
Ririn juga menegaskan bahwa kedaulatan negara modern menuntut pemerintah melindungi rakyatnya. “Kritik eksternal wajar jika negara gagal memenuhi kewajiban itu. Bukan intervensi, melainkan bentuk keprihatinan,” tambahnya.
Suara Mahasiswa Ilmu Hukum
Eko Wahyu Pramono, mahasiswa Ilmu Hukum, menilai transparansi pemerintah menjadi kunci.
“Janji penegakan hukum harus dibuktikan dengan langkah nyata. Kasus Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025 adalah ujian awal apakah pemerintah benar-benar konsisten menegakkan HAM sekaligus memastikan akuntabilitas aparat,” ujarnya kepada Wartawan Suara Utama.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














