
SUARA UTAMA – Tulisan ini terinspirasi dari seorang ustadz dalam sebuah kajian Syawal yang mengangkat tema menarik berjudul “3i”: Irtifā‘, Ibtidā’ bil Khair, dan Istimrār. Tiga kata singkat, tapi punya makna mendalam bagi kita yang ingin menjaga semangat Ramadhan agar tidak lenyap begitu saja setelah Idul Fitri.
Ramadhan telah pergi. Bulan yang kita sambut dengan air mata dan kita isi dengan semangat luar biasa kini sudah berlalu. Tapi pertanyaannya: apa yang berubah dari diri kita?
Satu hal yang sering luput kita sadari adalah bahwa puncak dari Ramadhan bukanlah Idul Fitri, melainkan apa yang terjadi setelahnya. Kita telah dididik selama sebulan penuh dalam madrasah ilahi. Puasa, tarawih, tilawah, infak, qiyam, all out! Tapi apakah semua itu hanya untuk dirayakan sesaat, lalu kembali ke rutinitas lama?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi saya, Ramadhan adalah ajakan untuk “naik kelas”, bukan “turun mesin”. Sayangnya, banyak dari kita justru mematikan semangat begitu takbir Idul Fitri berkumandang.
Padahal, Syawal adalah momen penting untuk melakukan tiga hal besar: Irtifā‘ (peningkatan), Ibtidā’ bil Khair (perencanaan amal), dan Istimrār (kontinuitas amal). Inilah tiga “kata kerja besar” yang seharusnya menjadi fokus kita setelah Ramadhan.
- Irtifā‘: Berani Meningkat
Saya teringat satu hadis:
“Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung…” (HR. Al-Hakim)
Artinya jelas: Islam bukan hanya soal bertahan, tapi soal berkembang dan meningkat. Kita tidak boleh stagnan. Kalau setelah Ramadhan kita kembali malas membaca Qur’an, lalai shalat malam, enggan infak, maka kita telah menurun, bukan meningkat.
Para sahabat, usai Perang Badar (yang terjadi di bulan Ramadhan), justru semakin siap menghadapi tantangan berikutnya. Spirit Ramadhan mereka bawa ke dalam perencanaan jangka panjang umat. Itulah irtifā‘ yang nyata.
- Ibtidā’ bil Khair: Mulai Merancang Kebaikan Baru
Setelah naik kelas, tentu ada kurikulum baru. Begitu pula dalam hidup kita. Usai Ramadhan, kita perlu membuat “blueprint amal” untuk setahun ke depan. Bukan hanya soal ibadah, tapi juga bagaimana kita bisa lebih bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, dan umat.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang visioner. Setelah Ramadhan, beliau tidak leha-leha. Beliau bangun Masjid Nabawi, mengatur pasar, merancang sistem sosial, bahkan mempersiapkan konstitusi umat lewat Piagam Madinah. Semua itu lahir dari perencanaan yang penuh ruh Ramadhan.
- Istimrār: Amal Itu Harus Konsisten
Nabi SAW pernah bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sederhana, tapi dalam. Jangan buru-buru berhenti hanya karena Ramadhan telah selesai. Mungkin kita tidak bisa lagi tahajud setiap malam, tapi jangan tinggalkan semuanya. Konsistensi lebih penting dari intensitas sesaat.
Puasa enam hari di bulan Syawal bukan hanya soal pahala setahun penuh. Ia adalah simbol kesinambungan. Sebuah isyarat bahwa semangat Ramadhan harus tetap hidup, bahkan setelah kalender berubah.
Menuju Istiqomah
Ketiga hal tadi’ peningkatan, perencanaan, kontinuitas harus bermuara pada satu kata yang berat tapi mulia: Istiqomah.
Ketika sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang satu pesan yang bisa menjadi pegangan hidup, beliau menjawab:
“Katakan: aku beriman kepada Allah, lalu istiqomahlah.” (HR. Muslim)
Istiqomah adalah ujian sejati keimanan. Ia bukan tentang satu momen heroik, tapi tentang kesetiaan dalam keseharian. Bahkan dalam hal kecil: menjaga shalat, menahan emosi, menepati janji, dan terus berbuat baik meski tidak dilihat manusia.
Akhirnya…
Banyak orang bersedih saat Ramadhan pergi. Tapi justru saat Ramadhan berlalu, Allah sedang menguji: siapa yang benar-benar lulus dari madrasah-Nya.
Maka mari jadikan Syawal bukan hanya bulan kembali makan siang, tapi bulan naik kelas keimanan.
Tetap tilawah, walau tidak seintens Ramadhan.
Tetap infak, walau tidak sebesar kemarin.
Tetap bangun malam, walau hanya dua rakaat.
Tetap berjuang menjadi hamba yang konsisten.
Karena dalam Islam, yang Allah cintai bukan yang tercepat, tapi yang paling tetap.
Penulis : Irawan
Sumber Berita : Ustadz Hasan (Tanggamus)