Suara Utama.- Sejak Perang Dunia II, Amerika Serikat menempatkan dirinya sebagai simbol dan pelopor globalisasi—baik melalui perdagangan bebas, penyebaran nilai-nilai demokrasi, maupun dominasi budaya pop. Namun, fenomena politik Donald Trump menghadirkan sebuah ironi: Amerika yang dulu menjadi lokomotif globalisasi kini justru hadir sebagai penentangnya. Trump tampil dengan retorika keras, nasionalistik, dan seringkali proteksionis—menawarkan narasi tandingan terhadap dunia yang saling terhubung. Melalui slogan populernya, “Make America Great Again”, ia menyodorkan sebuah janji: membawa Amerika kembali pada kejayaannya yang “murni”, tanpa beban keterikatan internasional.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana retorika anti-global Donald Trump bukan hanya sebatas strategi politik, melainkan manifestasi dari keresahan struktural dalam masyarakat Amerika—yang lelah menjadi bagian dari “dunia”, dan mulai memimpikan batas-batas yang lebih jelas.
Globalisasi yang Diromantisasi dan Dicurigai
Globalisasi selama puluhan tahun dianggap sebagai keniscayaan. Namun di balik narasi kemajuan dan keterbukaan, banyak kelompok masyarakat di negara-negara maju—termasuk Amerika Serikat—merasakan keterpinggiran. Pabrik-pabrik ditutup, lapangan kerja berpindah ke luar negeri, dan nilai-nilai tradisional tergilas oleh arus budaya global. Sentimen ini menjadi tanah subur bagi retorika Trump.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Trump menangkap keresahan ini dan membungkusnya dalam narasi sederhana: globalisasi merugikan Amerika. Ia menyalahkan perjanjian perdagangan seperti NAFTA, menuduh China “mencuri” pekerjaan, dan meremehkan multilateralisme sebagai bentuk “penindasan” terhadap kepentingan nasional AS.
Trump sebagai Simbol Politik Anti-Global
Retorika Trump bukan hanya retorika. Dalam praktik kebijakannya, diantaranya:
- Menarik AS dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, menunjukkan ketidakpercayaan terhadap komitmen global bersama.
- Menolak multilateralisme dengan mendiskreditkan WHO dan PBB.
- Mendorong perang dagang dengan China, menghidupkan kembali proteksionisme yang lama ditinggalkan.
- Menguatkan politik imigrasi yang ketat, dengan membangun tembok perbatasan dan membatasi visa.
Semua ini berakar pada pandangan dunia yang sangat realistis, di mana negara harus memprioritaskan kepentingannya sendiri, bahkan dengan mengorbankan konsensus internasional.
Kebangkitan Nasionalisme dan Perubahan Arah Amerika
Fenomena Trump tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari gelombang populisme global yang juga tampak di Brexit, kemenangan sayap kanan di Eropa, dan kemunculan tokoh-tokoh otoriter di berbagai belahan dunia. Namun, dalam konteks Amerika, Trump adalah titik balik yang radikal. Ia menjadikan nasionalisme bukan sekadar nilai konservatif, tapi ideologi pengganti bagi internasionalisme liberal yang selama ini dipegang Amerika.
Retorika “America First” memposisikan Amerika sebagai entitas tertutup, fokus pada domestik, dan enggan memikul beban sebagai “polisi dunia”. Dalam arti tertentu, ini adalah bentuk dekonstruksi terhadap peran hegemonik AS dalam tatanan global pasca-Perang Dunia II.
Paradoks: Globalisasi Tak Pernah Benar-Benar Mati
Meskipun Trump mencoba menjauh dari dunia, realitas global tetap merasuk. Ekonomi Amerika tetap sangat bergantung pada pasar global. Teknologi dan informasi terus menembus batas negara. Bahkan dalam masa pandemi, keterkaitan antarnegara menjadi sangat jelas.
Trump mungkin berhasil mengubah arah wacana publik, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya memutuskan jaringan global. Ini menciptakan sebuah paradoks: Amerika menolak globalisasi, tetapi tak bisa hidup tanpanya.
Kesimpulan : Fenomena Donald Trump adalah gejala zaman sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap dunia yang serba terhubung, kompleks, dan seringkali tidak adil bagi sebagian orang. Retorika anti-globalnya merefleksikan keresahan identitas dan ketidakpuasan ekonomi yang dirasakan jutaan rakyat Amerika. Namun, dalam upayanya membatasi dan memisahkan diri, Trump juga memperlihatkan betapa sulitnya membalik arus globalisasi yang telah mengakar dalam setiap aspek kehidupan modern.
Ketika Amerika tak lagi menjadi “dunia”, mungkin dunia pun harus belajar hidup tanpa Amerika—atau setidaknya, tanpa Amerika yang dulu. Hal ini juga bisa merujuk Pemikiran Samuel P. Huntington “Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (2004) – tentang krisis identitas nasional Amerika, sangat relevan untuk retorika Trump.
Penulis : Tonny Rivani