SUARA UTAMA- Kamis, 27 Februari 2025, pagi baru saja merekah ketika saya bersiap melakukan perjalanan dari Rawajitu Timur menuju Unit II Banjar Agung, Tulang Bawang. Udara masih segar, dan langit sedikit berawan. Pukul enam pagi, mesin motor menyala, menyatu dengan deru semangat yang perlahan menghangat di dada.
Saya tidak sendiri — Sidik Purnomo, kawan seperjalanan, menunggu di rumahnya di Gunung Tiga. Kami berkendara sendiri-sendiri, tapi hati kami satu tujuan. Ada rasa tenang saat tahu kita tidak melaju sendirian, meski roda motor berputar di jalur masing-masing.
Sejak jalan poros Rawajitu-Simpang Penawar diperbaiki, waktu tempuh jauh lebih singkat — hanya 1–1,5 jam. Dulu, perjalanan ini bisa memakan waktu hingga lima jam, melewati jalan berlumpur dan genangan air yang tak jarang menguji kesabaran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekarang, teman-teman sering bercanda, mengajak sarapan atau sekadar makan bakso di Unit II seolah jarak hanyalah perkara kecil.
Betapa waktu dan kemajuan bisa mengubah cara kita memandang dunia — yang dulu terasa jauh, kini menjadi dekat. Yang dulu penuh perjuangan, kini lebih bersahabat.
Setelah mengikuti acara di SDM Sang Surya, Banjar Agung, kami memutuskan segera pulang, tentu setelah salat Zuhur dan menyantap nasi kotak yang disiapkan panitia.
Perut kenyang, hati tenang, kami melaju kembali ke Rawajitu Timur, menyusuri jalan yang terasa bersahabat.
Namun, perjalanan yang tampak mudah sering kali menyimpan ujian tersembunyi. Jalanan mulus PT BNIL yang semula menyenangkan perlahan menjadi godaan kenyamanan.
Rasa kantuk menyergap, mungkin karena perut penuh atau tubuh yang mulai lelah. Saya berusaha tetap terjaga — bersenandung sholawat, berteriak kecil, bahkan membuka kaca helm agar angin menyapa wajah.
Di SPBU E, sebelum Tugu Kuda, Gedung Aji Baru, saya akhirnya menyerah. Saya menepi, mencoba memberi ruang bagi tubuh untuk beristirahat sejenak. Baru saja merebahkan badan, Sidik tiba-tiba datang. Rupanya, ia melihat saya berhenti dari kaca spionnya, berputar balik, dan ikut istirahat.
“Ngantuk juga, ya?” katanya sambil tertawa kecil.
Kami tertawa bersama, bersyukur bisa saling menjaga. Kadang, hidup memang seperti ini — ada kalanya kita perlu berhenti, mengakui kelemahan, dan beristirahat tanpa merasa bersalah.
Setelah cukup beristirahat dan terlelap beberapa saat, perjalanan dilanjutkan. Saya memacu motor sedikit lebih cepat, seolah semangat sudah terisi kembali. Tapi alam punya cara sendiri mengingatkan manusia akan keterbatasannya.
Hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun, memaksa kami berteduh di warung tambal ban sebelum Tugu Obor. Aroma tanah basah menguar, bercampur wangi kopi yang diseduh pemilik warung. Saya duduk diam, menatap hujan yang jatuh seperti tirai tipis, sementara pikiran melayang pada perjalanan yang masih panjang.
Ketika hujan reda, kami melanjutkan perjalanan lagi. Namun, hanya beberapa kilometer ke depan, jalanan kering seolah hujan tak pernah turun. Saya tersenyum sendiri — betapa miripnya ini dengan hidup. Kadang, kita merasa badai begitu berat, padahal bisa jadi itu hanya sementara.
Perjalanan terus berlanjut, dan sekitar lima kilometer kemudian, hujan turun lagi lebih deras dari sebelumnya. Kali ini, saya tak mau berhenti. Saya kenakan jas hujan dan nekat melaju. Tapi, baru beberapa meter menembus hujan, langit tiba-tiba cerah. Jalanan kembali kering hingga Rawajitu Timur.
Saya tertawa kecil — merasa lucu dengan drama cuaca yang terus menguji kesabaran.
Di balik basahnya pakaian dan tubuh yang lelah, ada pelajaran yang terasa begitu dekat. Bahwa hidup, seperti perjalanan ini, selalu penuh kejutan.
Kadang kita harus berhenti untuk beristirahat, kadang harus berani melaju meski badai menghadang. Dan sering kali, ketidakpastian menjadi bagian dari proses yang menguatkan kita tanpa kita sadari.
Setiap hujan yang mengguyur pasti akan reda. Begitu juga hidup — setiap kesulitan pasti ada akhirnya. Yang penting bukan hanya bagaimana kita sampai ke tujuan, tapi bagaimana kita menjalani setiap langkahnya dengan ketabahan dan rasa syukur.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar garis akhir, melainkan tentang bagaimana kita menikmati setiap momen — baik yang cerah maupun yang mendung. Sebab, di balik setiap badai, selalu ada langit tenang yang menanti.
Dan sering kali, setelah melewati hujan, kita menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap menghadapi perjalanan berikutnya.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung