Oleh: Eko Wahyu Pramono
Mahasiswa Ilmu Hukum
SUARA UTAMA – Ketika negara menyebut angka Rp609.160 sebagai batas kemiskinan per kapita per bulan, publik berhak bertanya: apakah angka itu merepresentasikan realitas hidup di Indonesia? Ataukah itu sekadar angka statistik yang kehilangan makna sosialnya?
Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mendeligitimasi peran Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga resmi penyedia data, tetapi sebagai refleksi kritis atas konsekuensi kebijakan publik yang bersandar pada definisi teknokratis terhadap kemiskinan. Di sinilah letak persoalannya: kemiskinan, jika didefinisikan terlalu sempit, bisa menjebak negara dalam ilusi keberhasilan dan menafikan kenyataan yang dihadapi rakyat sehari-hari.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Antara Statistik dan Kehidupan Nyata
Metode penghitungan garis kemiskinan oleh BPS mengacu pada pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yaitu kebutuhan minimum untuk memperoleh 2.100 kilokalori per hari ditambah pengeluaran nonmakanan dasar. Pendekatan ini memang sahih secara statistik, konsisten secara metodologis, dan praktis diterapkan. Namun, ada pertanyaan krusial: apakah cukup makan berarti hidup layak?
Jika seseorang memiliki pengeluaran Rp20.000 per hari, secara teknis ia tak lagi tergolong miskin. Namun, apakah orang tersebut dapat menyekolahkan anaknya, membayar kontrakan, memiliki dana darurat, atau mengakses layanan kesehatan yang bermutu? Di titik inilah pendekatan nominal menjadi tidak memadai untuk menangkap kompleksitas kemiskinan modern.
Risiko Politik Data
Setiap kali angka kemiskinan menurun, narasi keberhasilan pemerintah kerap menyertainya. Namun, keberhasilan statistik belum tentu mencerminkan perubahan nyata dalam kehidupan warga. Di sinilah data bisa berisiko dipolitisasi bukan karena niat jahat, tetapi karena keterbatasan instrumen pengukuran yang terlalu sempit dan tidak adaptif terhadap perubahan sosial.
Kesenjangan antara data dan realitas ini pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan publik. Ketika harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup makin berat, dan pekerjaan informal tanpa jaminan sosial makin dominan, tetapi data menyebut kemiskinan menurun, maka wajar jika publik bertanya: “Siapa yang sebenarnya diwakili oleh angka itu?”
Kemiskinan Multidimensi: Urgensi Reformasi
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi dilema ini. India, Meksiko, dan sejumlah negara berkembang lainnya telah mulai mengadopsi pendekatan kemiskinan multidimensi yang mempertimbangkan indikator pendidikan, kesehatan, perumahan, sanitasi, dan akses terhadap layanan dasar. Pendekatan ini lebih komprehensif dan selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Mengapa Indonesia masih terpaku pada pendekatan kalori dan pengeluaran nominal warisan tahun 1980-an? Padahal struktur ekonomi, pola konsumsi, serta ekspektasi masyarakat telah berubah secara drastis. Warga miskin saat ini tidak hanya menghadapi kekurangan pangan, tetapi juga kerentanan struktural: gaji yang tidak menutupi kebutuhan minimum, keterbatasan akses pendidikan vokasional, serta tingginya biaya hidup di perkotaan.
Reformasi Data untuk Kebijakan yang Lebih Adil
Permintaan untuk mengevaluasi ulang garis kemiskinan bukanlah seruan emosional, melainkan kebutuhan rasional agar kebijakan sosial berbasis pada kenyataan. Proses ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan akademisi lintas disiplin, peneliti independen, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, dan tentu saja BPS itu sendiri.
Dengan partisipasi berbagai pihak, reformasi metodologi ini akan menghasilkan indikator yang tidak hanya akurat secara statistik, tetapi juga adil secara sosial. Pemerintah pun dapat merancang kebijakan yang benar-benar menyasar mereka yang membutuhkan, bukan hanya mereka yang masuk dalam definisi sempit statistik.
Penutup
Kemiskinan bukan sekadar tentang jumlah uang yang dibelanjakan per hari. Ia adalah tentang peluang, keterbatasan, dan hak dasar sebagai warga negara. Jika kita ingin membangun negara yang inklusif, maka kita harus berani memperbaiki cara kita melihat dan mengukur kemiskinan.
Karena data bukan sekadar alat pengukur, tetapi juga cermin etika dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














