Format Tunggal Islam: Mimpi Bersama Sunni dan Syiah?

- Penulis

Minggu, 29 Juni 2025 - 02:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SUARA UTAMA

 “Kita tidak membutuhkan Islam Sunni atau Islam Syiah. Kita butuh Islam yang satu — Islam Allah.” Ayatollah Muhammad Hussein Fadlallah, — serta “Sunni dan Syiah adalah dua sayap dari burung yang sama; Islam tidak bisa terbang jika salah satu patah.” Sheikh Ahmed el-Tayeb.

Diawali pembahasan di balik keberagaman wajah Islam di dunia, dua mazhab besar — Sunni dan Syiah — masih menjadi pusat tarik-menarik dalam diskursus persatuan umat. Apakah mungkin membentuk satu format Islam yang mencakup keduanya? Ataukah perbedaan yang mengakar terlalu dalam untuk dijembatani atau  hal lainnya yang tidak bisa diungkapkan secara kasat mata dan pikiran ?

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Format Tunggal Islam: Mimpi Bersama Sunni dan Syiah? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akar Historis dan Dinamika Identitas

Perpecahan antara Sunni dan Syiah bukan sekadar soal teologi, tapi juga sejarah dan politik. Perbedaan bermula dari sengketa kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, lalu berkembang menjadi perbedaan dalam fikih, tradisi ibadah, dan bahkan tafsir sejarah Islam.

Menurut Prof. Vali Nasr, pakar politik Timur Tengah dari Johns Hopkins University, perbedaan Sunni-Syiah adalah “percampuran kompleks antara teologi dan kekuasaan yang telah berlangsung lebih dari 1.400 tahun.” Ia menekankan bahwa konflik ini diperparah oleh dinamika geopolitik modern, seperti rivalitas antara Iran dan Arab Saudi.

Upaya Dialog dan Tantangannya

Berbagai forum dan inisiatif telah diupayakan untuk menjembatani perbedaan. Salah satu tonggak penting adalah Deklarasi Amman 2004, yang diinisiasi oleh Raja Abdullah II dari Yordania. Deklarasi ini menegaskan pengakuan terhadap delapan mazhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah, sebagai bagian sah dari Islam.

Namun, seperti diungkapkan oleh Dr. Reza Aslan, penulis dan akademisi asal Iran-Amerika, “pengakuan formal tidak serta-merta menghapus prasangka yang hidup di akar rumput.” Menurutnya, perlu ada pendidikan lintas mazhab, dan yang lebih penting: pengakuan terhadap legitimasi narasi sejarah yang berbeda.

Islam Tanpa Sekat: Sebuah Utopia ?  Ada yang menyebut gagasan format tunggal Islam sebagai utopia. Tapi sebagian lainnya melihatnya sebagai kebutuhan zaman. Karen Armstrong, sejarawan agama dan mantan biarawati Katolik, menekankan bahwa Islam memiliki kapasitas spiritual yang besar untuk inklusivitas, selama umatnya mampu mengedepankan nilai-nilai kasih sayang dan keadilan sosial — nilai-nilai yang sejatinya diwariskan Nabi Muhammad SAW.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Sayyed Hossein Nasr, filsuf Islam kontemporer dari George Washington University, mengatakan, “Perbedaan dalam Islam seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai warisan intelektual yang memperkaya.”

Menuju Format Inklusif, Bukan Seragam

Gagasan tentang “format tunggal Islam” seringkali disalahpahami sebagai upaya menyeragamkan ajaran dan praktik seluruh mazhab menjadi satu bentuk yang utuh dan identik. Padahal, justru kekuatan Islam sepanjang sejarahnya terletak pada keberagaman intelektual, budaya, dan ekspresi keagamaannya. Format inklusif bukan berarti menyeragamkan, melainkan membangun ruang bersama yang saling mengakui, saling menghormati, dan bekerja sama di atas nilai-nilai inti Islam: tauhid, keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan umat.

Inklusivitas berarti mengakui bahwa perbedaan mazhab adalah keniscayaan sejarah yang tidak harus dihapus, tetapi bisa dirangkul dalam satu bingkai ukhuwah Islamiyah. Hal ini tercermin dalam sejarah Islam klasik, ketika ulama Sunni dan Syiah berdiskusi, saling mengutip pendapat satu sama lain, bahkan duduk dalam satu majelis ilmu. Imam Al-Ghazali (Sunni) dan Syekh Mufid (Syiah) adalah contoh bahwa perbedaan mazhab tidak menghalangi pertukaran ide yang sehat dan produktif.

Dalam konteks kekinian, inklusivitas ini menjadi makin mendesak. Dunia Islam menghadapi tantangan bersama: kemiskinan, krisis identitas, radikalisme, disinformasi digital, dan konflik geopolitik yang merampas martabat umat. Sunni dan Syiah bukan lagi dua kubu yang harus berkompetisi teologis, melainkan dua lengan dari tubuh yang sama, yang seharusnya saling menopang.

Format inklusif menuntut perubahan paradigma, khususnya dalam pendidikan dan dakwah. Kurikulum yang menampilkan sejarah Islam secara adil — yang tidak mendistorsikan mazhab lain — adalah langkah penting. Demikian pula dengan media, tokoh agama, dan lembaga keislaman yang perlu menjadi corong rekonsiliasi, bukan sekadar penguat identitas kelompok.

BACA JUGA :  Bupati Buol Resmikan TK Negeri 1 Momunu Di Desa Lamadong l Kecamatan Momunu

Kita butuh lebih banyak ruang yang memfasilitasi perjumpaan lintas mazhab — bukan untuk memaksakan kesamaan, tetapi untuk merayakan kemanusiaan dan spiritualitas bersama. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 13: “Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal, bukan saling menafikan.”

Format inklusif Islam tidak lahir dari meja konferensi politik semata, tapi dari hati umat yang bersedia membuka diri, dari para pemuda yang belajar menulis ulang sejarahnya dengan empati, dari para ulama yang berani mengakui bahwa perbedaan bukan kutukan — tapi karunia.

Inklusivitas dalam Islam bukanlah konsep baru — ia tumbuh dari akar ajaran Al-Qur’an dan teladan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda:

“Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.”

Meski sanad hadis ini diperdebatkan, maknanya hidup dalam tradisi Islam selama berabad-abad. Para ulama klasik seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pandangan dalam banyak hal, namun tetap saling menghormati. Bahkan Imam Syafi’i pernah berkata:

“Pendapatku benar, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.”

Spirit semacam inilah yang perlu dihidupkan kembali dalam konteks Sunni-Syiah: bahwa kebenaran bukan milik tunggal satu kelompok, dan bahwa dialog adalah bagian dari ibadah intelektual.

Tokoh-tokoh modern pun menggaungkan pesan yang sama. Ayatollah Muhammad Hussein Fadlallah, salah satu ulama besar Syiah dari Lebanon, pernah menyampaikan dalam khutbahnya:

“Kita tidak membutuhkan Islam Sunni atau Islam Syiah. Kita butuh Islam yang satu — Islam Allah.”

Sementara Sheikh Ahmed el-Tayeb, Grand Sheikh Al-Azhar, dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya merawat ukhuwah Islamiyah lintas mazhab:

“Sunni dan Syiah adalah dua sayap dari burung yang sama; Islam tidak bisa terbang jika salah satu patah.”

Di tengah ketegangan identitas, narasi-narasi seperti ini membuka ruang bagi rekonsiliasi, bukan hanya di atas kertas, tetapi di dalam hati umat. Islam sebagai sistem kepercayaan memiliki fleksibilitas teologis yang memungkinkan hidup berdampingan, bahkan saat perbedaan tetap dipertahankan.

Kesimpulan: Mimpi yang Perlu Dirawat

Mempersatukan Sunni dan Syiah dalam satu format Islam bukan berarti melebur semua perbedaan menjadi satu rupa. Itu berarti membangun satu ruang inklusif, di mana keberagaman tak dianggap ancaman, tapi bagian dari kekayaan umat. Format ini menuntut kedewasaan beragama, keberanian berdialog, dan kerendahan hati dalam melihat perbedaan.

Seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib:

“Jangan melihat siapa yang berkata, tapi lihatlah apa yang dikatakannya.”

Selama umat Islam sibuk mempertanyakan siapa yang paling benar, mereka bisa kehilangan apa yang seharusnya diperjuangkan bersama — keadilan sosial, martabat manusia, dan rahmat bagi semesta.

Satu Islam dalam banyak wajah — itulah format inklusif yang mungkin tidak mudah dibentuk, tapi sangat mungkin diperjuangkan.

Menyatukan Sunni dan Syiah dalam satu format Islam bukan sekadar pertanyaan teologis, tapi juga ujian moral dan politik. Mungkin belum sekarang jawabannya. Tapi pertanyaannya perlu terus diajukan — karena hanya dengan terus bertanya, umat ini bisa melangkah menuju titik temu.

Penutup : “Pembahasan judul artikel ini hanya untuk mengungkapkan sebuah renungan dari berbagai kalangan sesama muslim  selama ini terjadi yang menuntun  kondisi pada suatu  kegelisahan dalam kekhawatiran yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi ?

tapi dengan kejadian perang antara Pakistan dengan India, perang Iran dengan Israel  selama 12 hari bulan Juni 2025 yang lalu dimana  ternyata kemenangan terjadi ada di fihak Republik Islam Iran. Tentu kemenangannya  itu disambut gembira oleh rakyat Iran secara gemuruh turun ke jalan dengan gempira dengan teriak ……Hidup Iran…….Hidup Islam……berjayalah Islam dengan pekikan Allohu Akbar yang tak henti hentinya.

Selain itu diseberang perbatasan negara Iran dan sebrang pulau, sebrang lautan yang jauh pun menyambut sangat gembira sekalipun tidak ditunjukkan secara terang terangan, tapi percayalah kami selaku orang Islam yang awan menyakini bahwa itulah yang terjadi atas kegembiraan Kemenangan Republik Islam Iran bergemuruh secara global”.

Penulis : Tonny Rivani

Sumber Berita : *Referensi : 1. Nasr, Vali. The Shia Revival: How Conflicts Within Islam Will Shape the Future. Norton & Company, 2006. → Memberikan konteks geopolitik dan sosial atas kebangkitan identitas Syiah serta konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah. 2. Aslan, Reza. No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam. Random House, 2005. → Membahas sejarah awal Islam, termasuk perpecahan Sunni-Syiah, dengan pendekatan populer dan reflektif. 3. Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Life and Thought. ABC International Group, 2001. → Menjelaskan kekayaan spiritual dan perbedaan mazhab dalam Islam sebagai warisan intelektual. 4. Armstrong, Karen. Islam: A Short History. Modern Library, 2002. → Memberikan penjelasan ringkas dan seimbang tentang sejarah dan perkembangan Islam dari awal hingga era modern. 5. Deklarasi Amman (Amman Message), 2004 Sumber resmi: https://ammanmessage.com → Pernyataan penting dari ulama dunia yang mengakui keabsahan delapan mazhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah. 6. Rane, Halim & Abdalla, Mohamad. Islam and Muslims in the West: Major Issues and Debates. Melbourne University Press, 2010. → Membahas pentingnya dialog antar mazhab di era globalisasi dan pluralisme.

Berita Terkait

Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 
Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 
Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe
Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif
Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Tinjau Proyek Jalan Rp1,3 Miliar di Pamanukan, Bupati Subang Tegaskan: Tidak Ada Anak Emas, Semua Wilayah Prioritas
Pakopak Menduga Prematur, Perihal Rotasi/Mutasi Pegawai PDAM Tirta Argapura Saat Seleksi Direktur Berlangsung 
Berita ini 66 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 5 Desember 2025 - 19:21 WIB

Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 

Jumat, 5 Desember 2025 - 18:08 WIB

Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 

Jumat, 5 Desember 2025 - 12:32 WIB

Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe

Jumat, 5 Desember 2025 - 11:26 WIB

Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Kamis, 4 Desember 2025 - 14:37 WIB

Tinjau Proyek Jalan Rp1,3 Miliar di Pamanukan, Bupati Subang Tegaskan: Tidak Ada Anak Emas, Semua Wilayah Prioritas

Kamis, 4 Desember 2025 - 11:03 WIB

Pakopak Menduga Prematur, Perihal Rotasi/Mutasi Pegawai PDAM Tirta Argapura Saat Seleksi Direktur Berlangsung 

Berita Terbaru