Sebuah Analisis atas Keputusan Presiden Prabowo dalam Memulihkan Nama Baik Ira Puspadewi dan Implikasinya bagi Pertanggungjawaban Direksi BUMN
SUARA UTAMA — Surabaya, 26 November 2025 — Presiden Prabowo Subianto resmi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) yang memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, yang sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara. Dua mantan direksi lainnya Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono juga turut menerima rehabilitasi berdasarkan keputusan serupa.
Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Presiden, didampingi Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Dasco menegaskan bahwa rehabilitasi diberikan setelah DPR menerima berbagai aspirasi publik serta melakukan kajian hukum mendalam melalui Komisi III. Hasil kajian tersebut kemudian menjadi bagian dari pertimbangan Presiden.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kajian Komisi III dan Kritik atas Pertanggungjawaban Pidana dalam Keputusan Bisnis
Komisi III DPR dalam kajiannya menilai terdapat ketimpangan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap keputusan bisnis yang diambil Direksi ASDP. Banyak kritik diarahkan pada proses hukum yang dinilai belum sepenuhnya memperhatikan prinsip business judgment rule, yaitu prinsip hukum yang melindungi direksi dari tuntutan pidana atau perdata apabila keputusan bisnis diambil dengan itikad baik, tanpa benturan kepentingan, dan berdasarkan pertimbangan rasional.
Aspirasi publik yang masuk ke DPR juga menegaskan bahwa keputusan bisnis korporasi BUMN tidak dapat serta-merta dipidana hanya karena menimbulkan kerugian finansial. Sejumlah pihak menilai kasus ASDP menggambarkan gejala kriminalisasi kebijakan korporasi, yang berpotensi menghambat keberanian direksi BUMN dalam mengambil langkah strategis.
Kasus Akuisisi PT Jembatan Nusantara: Risiko Bisnis atau Tindak Pidana?
Ira Puspadewi sebelumnya dinyatakan bersalah atas dugaan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara. Majelis hakim menilai adanya kelalaian dalam proses pengambilan keputusan sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Namun, sejumlah pengamat dan ahli korporasi menilai bahwa kesalahan tersebut tidak terkait dengan keuntungan pribadi, melainkan merupakan risiko bisnis yang wajar terjadi dalam proses akuisisi dan ekspansi perusahaan negara. Dengan diterbitkannya Keppres rehabilitasi, Ira dan dua mantan direksi lainnya tidak perlu menjalani pidana penjara, sementara hak-hak sipil dan kedudukan mereka dipulihkan.
Komentar Praktisi Hukum: Preseden Baru dalam Tata Kelola BUMN
Praktisi hukum sekaligus Konsultan Pajak Senior, Adv. Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Fiskal KADIN Jawa Timur, menyambut keputusan Presiden sebagai langkah konstitusional yang menguatkan prinsip hukum administrasi negara dan tata kelola BUMN.
“Rehabilitasi ini adalah bentuk koreksi negara terhadap batas tipis antara risiko bisnis dan tindak pidana. Tidak semua kerugian perusahaan otomatis berarti korupsi. Dalam kasus ASDP, terlihat bahwa tidak ada unsur memperkaya diri. Karena itu, pemulihan nama baik melalui Keppres merupakan langkah presisi hukum yang harus diapresiasi,” ujar Yulianto.
Ia menekankan pentingnya preseden ini untuk mengurangi ketakutan para direksi BUMN dalam membuat kebijakan strategis.
“Sering kali, penegakan hukum kurang mempertimbangkan prinsip business judgment rule. Rehabilitasi ini harus menjadi preseden agar pimpinan BUMN tidak bekerja dalam bayang-bayang kriminalisasi, selama keputusan diambil dengan itikad baik dan berdasarkan analisis bisnis yang dapat dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Dimensi Hukum Administrasi: Rehabilitasi sebagai Instrumen Pemulihan Negara
Rehabilitasi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Berbeda dengan grasi, amnesti, atau abolisi, rehabilitasi berfungsi memulihkan nama baik, kedudukan, dan hak-hak sipil seseorang tanpa mengubah substansi putusan pengadilan. Dalam konteks hukum administrasi, Presiden bertindak sebagai pemegang otoritas tertinggi yang dapat menilai perlunya pemulihan atas ketidakadilan dalam proses hukum.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa sebelum menetapkan Keppres, Presiden telah meminta pertimbangan tertulis dari Mahkamah Agung, sehingga keputusan ini telah memenuhi seluruh prosedur konstitusional yang berlaku.
Dengan demikian, rehabilitasi menjadi wujud intervensi kebijakan yang sah untuk menyeimbangkan fungsi penegakan hukum dengan perlindungan terhadap tata kelola korporasi.
Respons KPK dan Implikasi Kebijakan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan menghormati keputusan Presiden dan akan menunggu salinan resmi Keppres sebelum menentukan langkah administratif lanjutan. KPK memastikan bahwa keputusan ini berada dalam koridor hukum dan tidak mengganggu proses pemberantasan korupsi secara kelembagaan.
Langkah rehabilitasi ini memberikan catatan penting bahwa penegakan hukum di sektor korporasi negara harus dijalankan secara proporsional dan tidak represif, terutama terhadap keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik.
Penutup: Preseden Penting bagi Masa Depan Tata Kelola BUMN
Rehabilitasi terhadap mantan direksi ASDP menandai tonggak penting dalam memperjelas batas antara risiko bisnis dan tindak pidana dalam pengelolaan BUMN. Ke depan, langkah ini diharapkan menjadi preseden hukum bagi penerapan prinsip business judgment rule di Indonesia serta memberikan rasa aman bagi para pengambil keputusan strategis.
Dengan pemulihan nama baik tersebut, diharapkan tercipta iklim tata kelola yang lebih sehat, berimbang, dan sesuai prinsip good corporate governance, tanpa mengurangi komitmen negara dalam memberantas korupsi.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














