SUARA UTAMA – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) kembali menjadi sorotan publik usai mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 1 Oktober 2025 yang mengajak Aparatur Sipil Negara (ASN), pelajar, hingga masyarakat umum untuk berdonasi Rp1.000 per hari.
Gerakan bertajuk “Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu)” atau “Gerakan Bersama Sehari Seribu” itu dimaksudkan untuk menghimpun dana sosial bagi warga tidak mampu, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan — seperti biaya transportasi pasien, bantuan berobat, dan dukungan bagi siswa kurang mampu di Jawa Barat.
Gagasan ini mengandung semangat luhur: menumbuhkan kembali budaya gotong royong dan solidaritas sosial khas masyarakat Sunda. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan serius: apakah caranya sesuai hukum dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik?
Dikritik DPRD: “Solidaritas Tak Boleh Dipaksakan”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritik tajam datang dari kalangan legislatif.Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari, menilai gerakan tersebut berpotensi disalahartikan dan bahkan dapat menimbulkan beban moral baru bagi masyarakat maupun ASN.
“Semangat gotong royong itu penting, tapi kebijakan seperti Poe Ibu terkesan dipaksakan atas nama solidaritas. Jangan sampai ASN merasa wajib karena datangnya instruksi dari atas,” ujar Zaini, dikutip dari Detik.com (2 Oktober 2025).
Dalam birokrasi, “imbauan” dari pejabat publik sering kali tidak dipahami sebagai pilihan bebas, melainkan perintah halus yang sulit ditolak. Di sinilah muncul potensi pelanggaran etika dan hukum administrasi pemerintahan.
Rujukan Payung Hukum Pengumpulan Dana: Ada Aturannya
Secara hukum, setiap kegiatan pengumpulan uang atau barang untuk kepentingan sosial diatur oleh beberapa regulasi pokok berikut:
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang
– Menegaskan bahwa setiap kegiatan pengumpulan dana dari masyarakat wajib memiliki izin pemerintah dan dilakukan oleh badan hukum atau panitia resmi yang ditunjuk. - Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan
– Mengatur tata cara pelaksanaan, transparansi, serta pembatasan bentuk pengumpulan seperti pertunjukan, bazar, dan daftar derma. - Permensos Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang
– Memperjelas bahwa inisiatif pengumpulan dana sosial berasal dari masyarakat, lembaga, atau badan sosial, bukan oleh lembaga pemerintah eksekutif.
– Pemerintah berperan hanya sebagai pemberi izin, pengawas, dan fasilitator, bukan sebagai penggerak langsung. - Permensos Nomor 22 Tahun 2015 dan Nomor 8 Tahun 2019
– Mengatur pengelolaan hasil pengumpulan sumbangan, termasuk kewajiban pelaporan dan audit publik agar dana digunakan tepat sasaran.
Dengan demikian, jika pejabat daerah — dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan — mengeluarkan surat edaran yang mendorong pengumpulan uang dari ASN atau masyarakat, maka itu berpotensi melampaui kewenangan dan bertentangan dengan prinsip legalitas publik.
Pendapat Pakar Hukum: Antara Etika dan Kewenangan
Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa “semangat sosial tidak boleh dijalankan dengan cara yang menabrak sistem hukum.” Menurutnya, setiap pejabat publik terikat pada prinsip legalitas, akuntabilitas, dan non-koersi.
“Begitu pejabat menggunakan kekuasaannya untuk menggalang dana, meskipun atas nama sosial, itu sudah masuk wilayah konflik kepentingan. Pemerintah tidak boleh jadi pelaku pengumpulan uang publik tanpa dasar hukum,” ujar Jimly dalam sebuah diskusi etika publik (Jakarta, 2023).
Senada dengan itu, Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, menilai bahwa kebijakan seperti Rereongan Sapoe Sarebu dapat menimbulkan pelanggaran prinsip sukarela dan transparansi.
“Donasi adalah wujud kebaikan yang bersumber dari kebebasan moral, bukan tekanan struktural. Ketika pemerintah memulai gerakan donasi, posisi relasi kekuasaan membuat sukarela menjadi semu,” jelas Bivitri.
Kedua pendapat ini menegaskan: inisiatif sosial seharusnya datang dari masyarakat, bukan dari pemerintah yang memerintahkannya.
Etika Pemerintahan dan Risiko Penyimpangan
Selain aspek hukum, etika pemerintahan juga menjadi sorotan.
Dalam prinsip good governance, ada tiga nilai utama yang terancam bila pejabat publik menjadi motor pengumpulan dana:
- Netralitas dan Kebebasan Tekanan. ASN berada di bawah garis komando gubernur; “imbauan” bisa menjadi tekanan struktural.
- Akuntabilitas Keuangan Publik. Dana yang dikumpulkan tanpa mekanisme resmi (APBD, Baznas, LAZ) berisiko disalahgunakan.
- Transparansi dan Audit. Tanpa laporan publik, sulit menelusuri aliran dana dan memastikan akuntabilitasnya.
Niat sosial yang dijalankan tanpa rambu-rambu justru bisa menimbulkan pungutan liar terselubung dan kerusakan kepercayaan publik.
Analisis Penulis: Gotong Royong Tak Bisa Dipaksa
Gerakan Poe Ibu mencerminkan kerinduan terhadap semangat gotong royong, namun gotong royong bukanlah kebijakan birokrasi — ia adalah nilai moral yang lahir dari kerelaan. Dalam tatanan hukum modern, pemerintah berperan sebagai pengatur dan pelindung ruang sosial, bukan sebagai pengumpul dana langsung.
Model idealnya adalah memberi dukungan kepada masyarakat untuk membentuk lembaga sosial independen — seperti Baznas, LAZ, atau yayasan kemanusiaan — yang diaudit secara publik dan bekerja di bawah payung hukum yang jelas.
Karena itu, niat baik Gubernur KDM tetap harus berjalan di atas rel konstitusi.
Sebab di negara hukum, niat baik tanpa dasar hukum tetaplah kesalahan.
Reflektif Penutup : Dalam pandangan Bung Hatta, gotong royong adalah “jiwa yang lahir dari kebebasan rakyat untuk saling menolong tanpa paksaan.”
Sedangkan Ki Hajar Dewantara pernah menulis, “Pemerintah hanyalah penuntun, bukan pengatur jiwa rakyat.”
Dari kedua pandangan itu, kita belajar bahwa solidaritas sejati tak bisa lahir dari edaran kekuasaan.Ia tumbuh dari kesadaran moral warga, bukan dari instruksi birokrasi.
Gerakan Poe Ibu bisa menjadi inspirasi sosial, asal dikembalikan ke tangan masyarakat. Karena hanya dengan cara itu, niat baik tidak berubah menjadi kesalahan konstitusional.












