SUARA UTAMA – Jakarta, 01 Oktober 2025 – Di tengah kompleksitas peraturan di Indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, benturan antaraturan hukum kerap tidak terelakkan. Untuk menghindari kebingungan dalam penerapannya, para ahli hukum mengingatkan pentingnya memegang teguh asas preferensi hukum sebagai kompas utama dalam menyelesaikan konflik norma.
Apa Itu Asas Preferensi Hukum?
Asas preferensi hukum adalah prinsip dasar yang digunakan untuk menentukan peraturan mana yang harus diprioritaskan ketika terdapat dua atau lebih aturan yang saling bertentangan. Dengan asas ini, aparat penegak hukum, pembuat kebijakan, maupun praktisi hukum memiliki panduan yang jelas sehingga tidak terjadi kerancuan dalam praktik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanpa asas preferensi, penegakan hukum bisa kehilangan arah. Kita butuh kerangka ini untuk memastikan kepastian hukum tetap terjaga,” ujar Yulianto Kiswocahyono., SE., SH., BKP seorang Praktisi Hukum dan Perpajakan (30/9).
Empat Pilar Asas Preferensi
Setidaknya terdapat empat asas preferensi utama yang berlaku di Indonesia:
- Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Aturan hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan yang lebih rendah. UUD 1945 misalnya, bisa membatalkan undang-undang melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Begitu pula undang-undang lebih tinggi kedudukannya dibanding peraturan pemerintah atau peraturan daerah. - Lex Specialis Derogat Legi Generali
Aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Kasus korupsi, misalnya, tidak lagi diproses dengan KUHP yang bersifat umum, melainkan dengan UU Tipikor yang secara khusus mengatur delik korupsi. Prinsip ini menjaga efektivitas penegakan hukum sesuai konteksnya. - Lex Posterior Derogat Legi Priori
Aturan baru mengesampingkan aturan lama. Hal ini tercermin dalam UU Cipta Kerja yang mengubah banyak ketentuan sebelumnya di bidang ketenagakerjaan, investasi, dan perizinan. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum berkembang mengikuti kebutuhan zaman. - Lex Primaria Derogat Legi Subsidiariae
Aturan primer lebih diutamakan daripada aturan yang bersifat tambahan atau subsider. Dalam praktik peradilan pidana, jaksa lebih dulu menggunakan pasal primer untuk menjerat terdakwa, baru kemudian pasal subsider digunakan bila primer tidak terbukti.
Relevansi di Tengah Tumpang Tindih Regulasi
Indonesia dikenal sebagai negara dengan hyper-regulation, di mana banyak undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah tumpang tindih. Kondisi ini sering menimbulkan perdebatan hukum di pengadilan maupun di ruang publik.
Dengan berpegang pada asas preferensi hukum, benturan ini bisa diminimalisir. Misalnya, ketika perda bertentangan dengan undang-undang, maka jelas perda tidak bisa diberlakukan. Begitu juga jika ada peraturan umum yang berbenturan dengan aturan khusus, maka aturan khususlah yang dipakai.
Suara Mahasiswa
Menurut Eko Wahyu Pramono, mahasiswa ilmu hukum, asas preferensi bukan sekadar teori di ruang kuliah, melainkan pedoman yang harus benar-benar dijalankan.
“Seringkali benturan aturan justru merugikan masyarakat kecil yang bingung mana yang harus dipatuhi. Dengan asas preferensi, ada kejelasan: aturan yang lebih tinggi, lebih baru, atau lebih khusus, harus dipakai. Ini penting agar hukum tidak hanya jadi tumpukan teks, tapi benar-benar hadir sebagai solusi,” tegas Eko.
Catatan Akhir
Di tengah derasnya arus perubahan regulasi, keberadaan asas preferensi hukum akan semakin penting. Ia bukan hanya teori dalam buku teks, tetapi juga alat navigasi praktis bagi hakim, jaksa, advokat, dan birokrat dalam memastikan hukum berjalan konsisten dan tidak saling meniadakan.
Dengan begitu, hukum Indonesia tetap bisa menjalankan fungsinya: memberikan kepastian, menegakkan keadilan, dan menghadirkan kemanfaatan bagi masyarakat.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














