SUARA UTAMA – SURABAYA, 17 Desember 2025 – PT Arion Indonesia mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perkara tersebut teregister dalam Permohonan Nomor 244/PUU-XXIII/2025. Sidang pendahuluan digelar pada Selasa, 16 Desember 2025, dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Perusahaan disebut diwakili Diana Isnaini selaku Direktur Utama, serta Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP selaku Komisaris PT Arion Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 78 UU Pengadilan Pajak menyatakan, “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
Kuasa hukum Pemohon, Kahfi Permana, menyampaikan bahwa Pemohon merupakan badan hukum privat yang dibuktikan dengan akta pendirian dan surat keputusan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pemohon berpendapat, ketentuan Pasal 78 UU 14/2002 tidak memuat mekanisme yang mewajibkan hakim menilai seluruh alat bukti secara lengkap dalam putusan, termasuk kewajiban mencantumkan seluruh bukti yang diajukan para pihak.
Menurut Pemohon, secara doktrin, keyakinan hakim dipandang sebagai simpulan akhir, bukan pengganti alat bukti. Pemohon menilai dalam perkara yang dialaminya, keyakinan hakim digunakan tanpa penilaian terhadap alat bukti primer dan tanpa uraian alasan penolakan bukti. Pemohon menyebut, bukti-bukti yang diajukan tidak disebutkan dalam putusan sehingga keyakinan hakim dinilai menjadi subjektif dan sulit diuji. Pemohon mendalilkan hal tersebut berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memberikan penafsiran konstitusional terhadap frasa “hasil penilaian pembuktian” dan “keyakinan Hakim” dalam Pasal 78. Pemohon memohon agar frasa-frasa tersebut dinyatakan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai adanya kewajiban menuangkan seluruh alat bukti dalam putusan, kewajiban menilai serta memberikan pertimbangan hukum satu per satu atas setiap alat bukti, dan batasan penggunaan keyakinan hakim.
Pemohon juga meminta Mahkamah memerintahkan pembentuk undang-undang untuk menyusun undang-undang baru tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti UU 14/2002 paling lama tiga tahun sejak putusan diucapkan. Pemohon mengusulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada perbaikan, UU 14/2002 dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Hakim Konstitusi Minta Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Daniel meminta Pemohon menyesuaikan penyusunan permohonan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 (PMK 7/2025). Daniel menyoroti adanya permintaan batas waktu tiga tahun dalam petitum dan meminta alasan serta penalarannya diperkuat dalam posita.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Guntur menilai aspek legal standing Pemohon masih perlu diperjelas dan diperkuat. Ia juga mengingatkan agar posita tidak hanya berisi alasan normatif, tetapi juga memuat uraian faktual, serta menjelaskan secara komprehensif keterkaitan norma yang diuji dengan pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Ketua MK Suhartoyo turut meminta Pemohon menjelaskan secara jelas bentuk kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya norma yang diuji, termasuk aspek ketidakpastian dan ketidakadilan yang dipersoalkan.
Sebelum sidang ditutup, Ketua MK menyampaikan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Perbaikan permohonan diminta diserahkan paling lambat Senin, 29 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Sidang lanjutan dijadwalkan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama













