SUARA UTAMA – Surabaya, 19 November 2025 — Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Alih-alih disambut sebagai pembaruan hukum acara pidana, regulasi baru ini justru memicu kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga praktisi hukum karena dianggap memperbesar kewenangan aparat dan melemahkan perlindungan hak warga negara.
Gelombang Penolakan Publik Menguat
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak beberapa bulan lalu, publik telah menyuarakan penolakan terhadap sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP yang dinilai berpotensi mengancam hak asasi manusia. Kritik terutama diarahkan pada pengaturan penangkapan dan penahanan yang dinilai tidak memiliki batas waktu jelas, perluasan wewenang aparat, serta penyadapan yang disebut tidak memiliki mekanisme pembatasan yang ketat.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang sejak awal mengawal pembahasan KUHAP, menegaskan bahwa isi substansi yang disahkan tidak berbeda dari draf Juli 2025 yang menuai protes keras masyarakat. Sorotan publik semakin menguat setelah naskah final RUU KUHAP baru diunggah ke situs DPR RI pada pagi hari sebelum pengesahan, sehingga ruang partisipasi publik dinilai sangat minim.
DPR Klarifikasi Isu Penyadapan
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, memberikan klarifikasi mengenai isu penyadapan yang banyak diperbincangkan. Ia menyebutkan bahwa Pasal 135 ayat (2) KUHAP baru tidak mengatur penyadapan secara teknis karena hal tersebut akan diatur dalam undang-undang tersendiri.
Namun, belum adanya undang-undang khusus penyadapan hingga hari pengesahan menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Publik menilai kekosongan hukum ini dapat membuka celah penyalahgunaan kewenangan, terutama dalam kasus-kasus sensitif yang membutuhkan pengawasan ketat.
ICJR Soroti Minimnya Pengawasan dan Kesiapan Implementasi
Peneliti ICJR, Iftitah Sari, menjelaskan bahwa RUU KUHAP memerlukan setidaknya sepuluh aturan pelaksana agar dapat berjalan secara efektif. Ketiadaan aturan-aturan tersebut dikhawatirkan menciptakan ketidakpastian hukum dan membingungkan aparat penegak hukum di seluruh daerah.
Selain itu, ICJR menilai RUU KUHAP belum mengadopsi mekanisme pengawasan kekuasaan negara yang memadai. Salah satu kekurangan mendasar adalah tidak adanya mekanisme habeas corpus, yakni kewajiban untuk segera menghadapkan seseorang yang ditangkap atau ditahan ke hadapan hakim. Tanpa mekanisme ini, risiko terjadinya penahanan sewenang-wenang dinilai semakin besar.
Peringatan Praktisi Hukum: Risiko Pelanggaran Hak Asasi Meningkat
Adv. Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, Praktisi hukum dan Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, berpendapat pengesahan KUHAP baru ini dilakukan dalam kondisi yang belum ideal. Menurutnya, KUHAP merupakan jantung proses pidana yang semestinya disusun dan diterapkan secara hati-hati karena menyangkut perlindungan hak dasar warga negara.
Yulianto menyoroti minimnya transparansi dan partisipasi publik selama proses legislasi, terutama karena naskah final baru diunggah pada hari pengesahan. Ia menegaskan bahwa perluasan kewenangan aparat tanpa mekanisme kontrol yang kuat berpotensi menciptakan praktik penyalahgunaan wewenang.
“KUHAP baru memberi ruang sangat besar kepada aparat, tetapi pengawasannya belum kuat. Tanpa aturan pelaksana yang jelas, implementasinya justru berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi warga negara,” ujarnya.
Menanti Regulasi Turunan dan Pengawasan Ketat
Pengesahan RUU KUHAP memang menandai babak baru reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Namun berbagai kalangan menilai, tanpa adanya aturan pelaksana yang memadai dan mekanisme pengawasan independen, regulasi ini justru dapat membuka ruang penyimpangan dan meningkatkan ketidakpastian hukum.
Pemerintah kini diharapkan segera mempercepat penyusunan aturan turunan secara transparan dan melibatkan publik, agar implementasi KUHAP baru pada awal 2026 tidak mengancam hak-hak konstitusional warga negara.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














