SUARA UTAMA – Surabaya, 28 Oktober 2025 — Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyoroti jalannya proses sidang di Pengadilan Pajak yang dinilai lebih menonjolkan prosedur hukum dibandingkan semangat keadilan. Hal itu disampaikan usai mendampingi anggota IWPI, CV Rose Selular, dalam perkara banding pajak terhadap Direktur Jenderal Pajak terkait sengketa SKP dan STP tahun pajak 2019.
Permohonan Sidang Onsite Ditolak Tiga Kali
Dalam perkara tersebut, CV Rose Selular mengajukan permohonan agar dapat menghadirkan ahli secara tatap muka (onsite) di ruang sidang. Permohonan itu merujuk pada Pasal 15 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-1/PP/2023, yang memberikan kewenangan majelis untuk menentukan pelaksanaan sidang secara langsung.
Namun, menurut IWPI, permohonan tersebut ditolak sebanyak tiga kali melalui surat bertanggal 28 Agustus, 8 September, dan 20 September 2025 tanpa alasan yang dianggap substansial.
Majelis hakim yang diketuai Muhammad Hanif Arkanie dengan anggota Rahmaida dan Rusdi Yanis disebut tidak memberikan alternatif solusi terkait pelaksanaan sidang online bagi kehadiran ahli.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sorotan terhadap Proses Persidangan
Dalam sidang terakhir, IWPI mencatat adanya ketimpangan dalam komunikasi antara para pihak. Terbanding, yakni Direktorat Jenderal Pajak, disebut tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sementara interaksi hanya terjadi antara Pemohon dan Majelis.
“Suasana persidangan terasa formal, tapi kehilangan ruang empati,” ujar Rinto dalam keterangannya.
IWPI menilai kondisi tersebut menunjukkan bahwa penerapan supremasi hukum di Pengadilan Pajak perlu diimbangi dengan nilai-nilai keadilan substantif.
Pendapat Pakar Pajak
Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Dr. Alessandro Rey Nearson, turut menanggapi situasi tersebut. Ia menilai pemberian kesempatan bagi pihak untuk menghadirkan ahli secara langsung seharusnya tidak menjadi persoalan besar.
“Pengadilan Pajak semestinya menjadi sarana pelayanan publik yang memudahkan wajib pajak mencari keadilan, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Refleksi Moral atas Penegakan Hukum
Rinto Setiyawan mengutip pandangan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang menyebut bahwa hukum tanpa nurani hanyalah kekosongan.
“Ketika hukum ditegakkan tanpa rasa keadilan, rakyat kehilangan kepercayaan,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa lembaga peradilan perlu menyeimbangkan antara supremasi hukum dan supremasi moral, agar proses hukum tidak sekadar menjadi formalitas administratif.
Penutup: Seruan untuk Evaluasi
IWPI berharap Pengadilan Pajak dapat melakukan evaluasi terhadap penerapan sidang daring, khususnya dalam hal memberikan ruang yang setara bagi wajib pajak untuk menyampaikan pembelaan dan menghadirkan ahli.
“Rakyat tidak menuntut kemenangan, tapi pengakuan atas kebenaran,” tutup Rinto.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














