Suara Utama – 26 Oktober 2025 – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerapkan konsep “Delta” dalam mekanisme pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Aturan ini diatur dalam PER-11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Materai, yang merupakan bagian dari pelaksanaan sistem digital terpadu Coretax System.
Konsep Delta: Lebih Bayar Bisa Jadi Kurang Bayar
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sistem baru ini, DJP menghitung selisih (delta) antara nilai SPT awal dan SPT hasil pembetulan.
Apabila pembetulan SPT mengurangi nilai lebih bayar, maka selisih tersebut akan dianggap sebagai PPN kurang bayar dan wajib disetor ke kas negara.
Selain itu, atas selisih tersebut juga berpotensi dikenai sanksi bunga sebesar 1% per bulan karena dianggap keterlambatan pembayaran pajak.
Sebagai contoh, jika pada SPT Masa Juni 2025 suatu perusahaan melaporkan lebih bayar sebesar Rp1 miliar, lalu dua bulan kemudian memperbaikinya menjadi lebih bayar Rp700 juta, maka selisih Rp300 juta dianggap kurang bayar dan dapat dikenakan bunga keterlambatan.
Tujuan DJP: Transparansi dan Akurasi Coretax
DJP menyatakan bahwa penerapan konsep delta dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan transparansi administrasi pajak melalui sistem digital.
Melalui Coretax, seluruh data pelaporan dan pembetulan pajak akan terekam otomatis, termasuk perhitungan selisih nilai yang timbul akibat koreksi.
Kebijakan ini diharapkan dapat menutup peluang terjadinya manipulasi pelaporan lebih bayar yang tidak sesuai dengan kondisi riil.
Namun, kalangan dunia usaha menilai kebijakan tersebut kurang mempertimbangkan realitas di lapangan, di mana pembetulan SPT sering kali dilakukan karena kesalahan administratif, retur barang, atau perubahan data transaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi negara.
Kritik dari KADIN Jawa Timur: “Kepatuhan Bisa Terhambat”
Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP., Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, menilai konsep delta berpotensi menghambat kepatuhan sukarela wajib pajak.
“Wajib pajak bisa enggan melakukan pembetulan karena khawatir dianggap kurang bayar. Padahal, niatnya memperbaiki pelaporan agar akurat. Ini menimbulkan efek psikologis negatif terhadap kepatuhan,” ujar Yulianto kepada Suara Utama, Minggu (26/10/2025).
Ia menegaskan, seharusnya DJP membedakan pembetulan administratif dan substantif, karena tidak semua koreksi menimbulkan kerugian negara.
“Jika semua pembetulan langsung dianggap kurang bayar, dunia usaha akan merasa tidak dilindungi oleh asas kepastian hukum fiskal,” tambahnya.
IWPI: DJP Perlu Lebih Edukatif dan Proporsional
Eko Wahyu Pramono, S.Ak, praktisi pajak dan anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), juga menyampaikan kritik senada.
Menurutnya, DJP sebaiknya tidak langsung mengenakan sanksi bunga terhadap setiap pembetulan SPT, melainkan melihat konteks di balik perubahan data.
“Banyak pembetulan dilakukan karena retur atau koreksi teknis, bukan karena kesengajaan. Kalau tetap dikenai bunga, ini bisa menjadi beban tambahan yang tidak proporsional,” jelas Eko.
IWPI mendukung digitalisasi perpajakan lewat Coretax, tetapi menekankan agar DJP lebih mengedepankan edukasi daripada penalti, terutama pada masa awal penerapan sistem baru.
Harapan Dunia Usaha: Evaluasi dan Masa Transisi
Dunia usaha berharap DJP melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan konsep delta, sekaligus memberikan masa transisi dan sosialisasi yang cukup agar wajib pajak memahami implikasinya.
KADIN Jawa Timur dan IWPI menilai, sistem digital seharusnya tidak hanya meningkatkan pengawasan, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak.
“Coretax adalah langkah maju, tapi kebijakan yang terlalu keras bisa justru membuat kepatuhan turun,” tutup Yulianto.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














