SUARA UTAMA – Jakarta, 3 Oktober 2025 – Regulasi perpajakan di Indonesia terus mengalami pembaruan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang terakhir direvisi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022, secara jelas mengatur dua jenis sanksi bagi wajib pajak, yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Keduanya diposisikan sebagai instrumen penegakan hukum dalam rangka menjaga kepatuhan pajak.
Sanksi administrasi termuat dalam Pasal 7 UU KUP, berupa denda akibat keterlambatan atau kelalaian dalam penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Besarnya denda menyesuaikan jenis SPT dan tingkat kesalahan wajib pajak. Sementara itu, Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP memberi ruang bagi penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran yang dinilai serius, seperti:
- sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP,
- tidak menyampaikan SPT, atau
- menyampaikan SPT yang tidak benar atau tidak lengkap hingga menimbulkan kerugian negara.
Dengan konstruksi hukum ini, sanksi administrasi dan pidana dapat berjalan secara paralel dalam praktik penegakan hukum pajak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Problematika Dualisme Sanksi
Kajian Ariska Cesar Divian Candra Kusuma dkk. dalam riset berjudul “Dualisme Pengaturan Sanksi Terhadap Wajib Pajak Berdasarkan Undang-Undang KUP” (2025) menyoroti adanya problem mendasar: sanksi administrasi dan pidana kerap dijatuhkan secara bersamaan, meskipun keduanya didasarkan pada kerugian negara yang sama.
Pertama, kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam teori hukum, sanksi administrasi seharusnya menjadi langkah korektif awal (ultimum remedium) sebelum suatu perkara ditarik ke ranah pidana. Namun, frasa “merugikan pendapatan negara” dalam UU KUP memberi ruang diskresi yang luas bagi otoritas pajak untuk langsung mengenakan sanksi pidana. Hal ini menimbulkan ambiguitas: apakah pelanggaran cukup diselesaikan dengan denda administratif atau harus diproses ke pengadilan pidana.
Kedua, dari sudut pandang hak asasi manusia dan prinsip proporsionalitas sanksi, pengenaan ganda (administrasi dan pidana sekaligus) berpotensi melanggar asas ne bis in idem, yaitu larangan menghukum seseorang dua kali atas satu perbuatan. Meskipun secara formal berbeda, substansi kerugian negara yang dijadikan dasar tetap sama. Inilah yang menimbulkan kritik bahwa rezim sanksi dalam UU KUP masih belum sepenuhnya konsisten.
Implikasi terhadap Penegakan Hukum Pajak
Dualisme sanksi ini membawa sejumlah implikasi praktis:
- Bagi wajib pajak, muncul ketidakpastian dan kekhawatiran karena kesalahan administratif kecil pun bisa berujung pada proses pidana.
- Bagi otoritas pajak (DJP), kewenangan ganda memperluas daya tekan terhadap kepatuhan, tetapi juga berisiko menciptakan kesan represif.
- Bagi sistem hukum, tumpang tindih aturan melemahkan prinsip kejelasan norma dan keadilan, sekaligus menimbulkan potensi sengketa hukum.
Komentar Praktisi
Menanggapi isu ini, Eko Wahyu Pramono, anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), menegaskan perlunya kejelasan regulasi agar kepatuhan pajak tidak berubah menjadi beban ketakutan bagi masyarakat.
“Dualisme sanksi dalam UU KUP harus segera dievaluasi. Sanksi administrasi seharusnya berfungsi sebagai instrumen korektif, bukan ancaman yang otomatis berujung pada pidana. Jika tidak ada pembatasan yang jelas, akan terjadi ketidakpastian hukum yang justru merugikan wajib pajak sekaligus melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan,” ujarnya kepada Suara Utama, Jumat (3/10).
Sementara itu, Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, konsultan pajak senior dan Ketua Komite Tetap Fiskal Kadin Jatim, menyoroti pentingnya keseimbangan antara kepatuhan dan perlindungan hak wajib pajak.
“Negara tentu membutuhkan kepastian penerimaan pajak, tetapi jangan sampai penegakan hukum menimbulkan iklim ketakutan yang kontraproduktif. Dualisme sanksi harus diatur lebih proporsional agar tidak menghambat aktivitas ekonomi dan tidak menggerus rasa keadilan di kalangan wajib pajak,” jelas Yulianto.
Penutup
Dengan demikian, problematika dualisme sanksi dalam UU KUP bukan hanya persoalan teknis, melainkan menyentuh aspek fundamental kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak wajib pajak. Reformasi hukum pajak ke depan perlu memperjelas batas tegas antara ranah administrasi dan pidana. Idealnya, sanksi administrasi diposisikan sebagai upaya korektif, sedangkan pidana diterapkan hanya untuk kasus dengan unsur kesengajaan (mens rea) yang nyata dan menimbulkan kerugian negara signifikan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














