Jakarta,30/09/25-
Belakangan ini muncul manuver politik yang mencoba membangun kesan seolah-olah Presiden bersikap anti media. Framing semacam ini berbahaya karena dapat menyesatkan publik, merusak relasi strategis antara pemerintah dengan pers, serta melemahkan demokrasi.
Media memiliki fungsi kontrol, sementara pemerintah berkewajiban menjamin kebebasan pers sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena itu, narasi yang diarahkan untuk mengadu domba Presiden dengan media patut diwaspadai, sebab seringkali bukan didasari fakta, melainkan strategi politik kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memperjelas bagaimana framing media bisa dimainkan, kita bisa menilik beberapa fakta dan kontroversi yang menyertai Anies Baswedan, figur politik yang kerap menjadi sorotan:
1. Klaim “sahabat Amerika Serikat”
Tahun 2009, telegram diplomatik AS menyebut Anies sebagai akademisi moderat. Fakta lama ini dipelintir sebagai narasi politik baru untuk membangun stigma tertentu.
2. Isu pemecatan sebagai menteri
Beredar klaim bahwa Anies dicopot dari kursi Menteri Pendidikan karena membongkar anggaran. Faktanya, berdasarkan cek fakta, klaim itu tidak benar dan hanya kampanye opini semata.
3. Ketegangan dengan media soal data infrastruktur
Tim Anies sempat menyalahkan media ketika data pembangunan jalan tol SBY–Jokowi dikoreksi. Hal ini menunjukkan bagaimana narasi media bisa memicu gesekan antara tokoh politik dan publik.
4. Kampanye identitas di Pilkada DKI 2017
Isu SARA mewarnai Pilkada Jakarta yang dimenangkan Anies. Narasi media kala itu memperbesar sentimen identitas, dan framing politik jelas ikut bermain.
5. Fakta viral & roasting publik
Dari unggahan pertemuan dengan dosen pembimbing hingga jadi bahan roasting komika, Anies kembali menjadi contoh bagaimana media dan ruang publik digital membentuk citra politik seseorang.
—
Kesimpulan
Kasus Anies Baswedan memperlihatkan bahwa narasi “anti media” sering kali tidak lepas dari permainan framing. Fakta-fakta bisa dipelintir, dimanipulasi, atau diperbesar untuk kepentingan politik tertentu. Karena itu, setiap tuduhan terhadap Presiden yang disebut anti pers harus dihadapi dengan sikap kritis.
Kami menegaskan: demokrasi akan runtuh bila media dijadikan alat propaganda politik. Insan pers wajib menjaga independensi, sementara publik harus cerdas membaca arah manuver politik agar tidak mudah digiring oleh framing sesat.
Penulis : Tim wartawan
Editor : Tim wartawan














