Jakarta, 30 September 2025 –
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi wartawan tertua di tanah air kembali menjadi sorotan publik. Hal ini karena PWI kerap dianggap lebih sering melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah dibandingkan memberi solusi konstruktif. Kritik yang dimaksud sering muncul dalam bentuk pernyataan resmi pengurus pusat maupun daerah, terutama menyangkut isu kebebasan pers, kriminalisasi jurnalis, dan pelayanan publik.
Sebagai organisasi profesi, PWI memang memiliki peran penting sebagai penjaga independensi dan kebebasan pers. Namun, ketika pernyataan-pernyataan yang keluar lebih bernuansa “menjelekkan” hasil kerja pemerintah tanpa diiringi gagasan yang membangun, PWI berisiko kehilangan wibawa dan kredibilitas. Publik dapat menilai PWI bukan lagi mitra kritis yang konstruktif, melainkan sekadar kelompok oposisi yang bersembunyi di balik bendera pers.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, muncul pula manuver politik PWI yang memperkuat keraguan terhadap netralitasnya. Beberapa contoh yang menonjol antara lain:
Dialog eksklusif dengan Anies Baswedan yang digelar PWI Pusat, di mana Anies diberi ruang luas untuk menyampaikan visi politiknya. Publik menilai forum itu tidak sekadar diskusi jurnalistik, tetapi lebih menyerupai panggung politik terselubung.
Pemberian “PWI Jaya Award” kepada Anies Baswedan ketika menjabat Gubernur DKI, yang ditafsirkan sebagian kalangan sebagai bentuk endorsement politik halus.
Keterlibatan dalam usulan Hari Pers Nasional (HPN) di Jakarta yang diterima Anies, memunculkan kesan bahwa PWI memainkan kedekatan dengan pejabat tertentu demi legitimasi politik.
Pernyataan pengurus daerah yang keras menyerang kepala daerah atau pejabat yang tidak sejalan, sementara melunak pada pihak yang dianggap dekat dengan kepengurusan.
Kontradiksi antara kritik keras terhadap pemerintah di satu sisi, dan manuver politik yang menguntungkan tokoh tertentu di sisi lain, menimbulkan pertanyaan serius: apakah PWI benar-benar netral, atau hanya memainkan sikap ganda sesuai momentum dan kepentingan?
Kami menegaskan empat langkah mendesak agar PWI kembali ke jalur profesional:
1. Kritik harus berbasis data dan solusi. Jangan berhenti pada kecaman, tapi sertai dengan rekomendasi kebijakan yang membangun.
2. Konsistensi sikap. Jika mengaku netral, PWI harus menjauhkan diri dari panggung politik praktis.
3. Bersihkan manuver politik internal. Organisasi profesi tidak boleh menjadi arena perebutan pengaruh politik atau alat pencitraan kandidat.
4. Fokus pada peningkatan profesionalisme wartawan. Agenda utama organisasi mestinya membekali anggota dengan etika dan keterampilan jurnalistik, bukan sekadar menjadi corong kritik atau alat legitimasi politik.
PWI masih memiliki posisi strategis di dunia pers Indonesia. Namun, agar dipercaya publik, PWI harus mampu menampilkan wajah organisasi yang independen, netral, kritis sekaligus solutif, bukan sekadar dikenal karena manuver politik dan kebiasaannya menjelekkan hasil kerja pemerintah.
Penulis : Tim wartawan
Editor : Tim wartawan
Sumber Berita : DPP Aliansi Cyber Pers Indonesia














