SUARA UTAMA – Jakarta, 24 September 2025 – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa peningkatan penerimaan negara tidak boleh ditempuh dengan cara menekan atau menakut-nakuti wajib pajak. Menurutnya, sistem perpajakan harus memberi kepastian hukum yang konsisten dan rasa keadilan.
“Program pajak itu harus dijalankan dengan benar. Kalau ada yang melanggar, tentu dikenai sanksi. Namun jangan sampai wajib pajak merasa diperas,” ujar Purbaya.
Ia menambahkan, setiap rupiah pajak yang terkumpul wajib segera dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, terutama pembangunan dan penguatan ekonomi nasional. “Kalau sudah ada penerimaan, ya dibelanjakan untuk program pemerintah. Itu esensinya,” tegasnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritik atas Tax Amnesty
Purbaya juga mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu bergantung pada kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Menurutnya, pelaksanaan tax amnesty secara berulang hanya akan menumbuhkan sikap oportunistik.
“Kalau tiap dua tahun ada tax amnesty, orang bisa berpikir lebih baik menunda kewajiban. Nanti toh ada pengampunan lagi. Itu bukan sinyal yang baik,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029, meski Indonesia sudah dua kali melaksanakan program tersebut.
Meski demikian, Purbaya menilai kebijakan itu tidak tepat dijadikan solusi jangka panjang. “Saya akan lihat dulu bagaimana proposalnya. Tapi sebagai ekonom, saya menilai itu kurang pas. Tidak terlalu tepat,” pungkasnya.
Komentar Ahli Pajak
Menanggapi hal ini, Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Fiskal KADIN Jatim, menyatakan pandangan Purbaya sejalan dengan prinsip kepastian hukum.
“Pajak pada dasarnya merupakan kontrak sosial antara negara dan rakyat. Jika pemerintah menakut-nakuti wajib pajak, kepercayaan publik justru akan menurun. Yang dibutuhkan adalah sistem yang adil, dengan perlakuan sama bagi semua wajib pajak tanpa pandang bulu,” kata Yulianto.
Ia menambahkan, kepatuhan pajak akan tumbuh bila transparansi dalam pemanfaatan penerimaan benar-benar dirasakan publik. “Keadilan itu tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga penggunaan uang pajak yang kembali ke rakyat,” ujarnya.
Sengketa Pajak dan Kritik di Lapangan
Yulianto juga menyoroti ketimpangan dalam sengketa pajak. Menurutnya, ketika wajib pajak kalah di Pengadilan Pajak, selalu ada tambahan denda dan bunga. Namun, bila wajib pajak menang, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah dikenai sanksi administrasi.
“Ketika wajib pajak menang, tidak ada konsekuensi administratif bagi DJP. Padahal bila wajib pajak kalah, sanksinya langsung berupa denda dan bunga. Ketidakseimbangan ini menunjukkan perlunya reformasi,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi praktik di tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Menurutnya, petugas sering menekankan bahwa wajib pajak masih punya hak mengajukan keberatan atau banding. Namun, keputusan fiskus sering dianggap mutlak benar.
“Di KPP, petugas selalu menyampaikan bahwa wajib pajak masih memiliki hak keberatan atau banding. Tetapi dalam praktiknya, keputusan mereka dianggap sudah benar. Tidak ada sanksi jika ternyata keliru. Yang penting target dianggap tercapai, meski menyulitkan wajib pajak,” jelas Yulianto.
Ilustrasi Kasus: UD. Pramono Boyolali
Kasus UD. Pramono, sebuah usaha pengepul susu di Boyolali, sempat menjadi sorotan publik setelah rekening usahanya diblokir akibat tunggakan pajak sekitar Rp 671 juta. Pemblokiran itu membuat aktivitas usaha terganggu karena kesulitan membeli hasil dari peternak lokal.
Pemilik usaha mengaku terbebani oleh prosedur tersebut. Namun, otoritas pajak menegaskan bahwa pemblokiran dilakukan sesuai prosedur hukum. Belakangan, UD. Pramono memperoleh keringanan denda sekitar Rp 200 juta, sebelum akhirnya melunasi kewajiban sebesar Rp 467 juta.
Menurut sejumlah pengamat, kasus ini mencerminkan dilema antara ketegasan fiskus dan rasa keadilan bagi pelaku usaha kecil.
“Contoh UD. Pramono menunjukkan bagaimana wajib pajak kecil bisa merasa tertekan, sementara perusahaan besar kerap mendapat kelonggaran melalui tax amnesty. Prinsip keadilan harus dijaga agar sistem perpajakan tidak kehilangan legitimasi,” tutup Yulianto.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














