SUARA UTAMA – Jakarta, 17 September 2025 – Penerapan Pasal 112 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika kembali menuai sorotan publik. Kedua pasal yang sering digunakan aparat penegak hukum dalam kasus narkotika dinilai rawan multitafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet.”
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun, efektivitas penindakan hukum kerap diperdebatkan, terutama terkait keadilan bagi pengguna narkotika yang seharusnya mendapat rehabilitasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Isi Pasal
- Pasal 112 mengatur pidana berat bagi setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun penjara dan maksimal seumur hidup, bahkan dapat dijatuhi hukuman mati pada kondisi tertentu.
- Pasal 127 ditujukan bagi penyalahguna narkotika, dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara. Namun, pasal ini juga membuka peluang rehabilitasi apabila hasil asesmen menunjukkan pelaku adalah pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.
Pandangan Praktisi
Praktisi hukum, Eko Wahyu Pramono, menilai bahwa kedua pasal tersebut memiliki sisi ganda: satu sisi menindak pengedar, sisi lain seharusnya memberi ruang rehabilitasi bagi pengguna.
“Pasal 112 dan 127 seharusnya jelas membedakan antara pengedar dan pengguna. Sayangnya, redaksinya terlalu luas sehingga membuka ruang tafsir aparat. Akibatnya, pengguna bisa saja diperlakukan seolah-olah pengedar,” ujar Eko.
Ia menambahkan, secara logika hukum, seorang pengguna hampir pasti memenuhi unsur Pasal 112 karena memiliki narkotika untuk dipakai.
“Seorang pengguna pun, ketika hendak mengonsumsi narkoba, pasti dalam posisi menyimpan atau menguasai barang tersebut. Inilah celah yang membuat pengguna rawan dijerat dengan pasal pengedar,” tegasnya.
Menurut Eko, ketidakjelasan penerapan kedua pasal ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
“Kita sering lihat ada perbedaan perlakuan: sebagian diarahkan ke rehabilitasi, sementara yang lain justru dijatuhi pidana berat meskipun kasusnya serupa. Dari sinilah muncul pandangan publik yang menyebutnya pasal karet,” tambahnya.
Konfirmasi Aparat
Hingga berita ini diterbitkan, BNN dan Kepolisian RI belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik atas penerapan Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika.
Kesimpulan
Perdebatan mengenai Pasal 112 dan 127 memperlihatkan dilema penegakan hukum narkotika di Indonesia. Di satu sisi, negara wajib tegas memberantas peredaran narkoba melalui instrumen hukum yang kuat. Namun, di sisi lain, pecandu sebagai korban penyalahgunaan seharusnya berhak mendapatkan rehabilitasi, bukan diperlakukan layaknya pengedar.
Ketiadaan batasan yang jelas dalam praktik penerapan kedua pasal ini menimbulkan ruang tafsir luas dan berpotensi mencederai rasa keadilan. Evaluasi norma hukum dan pengawasan ketat dalam implementasi dinilai krusial agar penegakan hukum berjalan adil, proporsional, dan berpihak pada kepentingan publik.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














