SUARA UTAMA –Presiden Prabowo menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Kepartaian demi membuka ruang partisipasi politik yang lebih adil. Hal itu disampaikan Menteri Yusril Ihza Mahendra usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, 4 September 2025.
Wacana penyusunan UU Kepartaian yang membatasi jumlah partai politik kembali mengemuka. Usulan ini menuai pro-kontra: ada yang menilai langkah tersebut bisa memperkuat demokrasi dan stabilitas pemerintahan, namun ada pula yang khawatir pembatasan justru mengurangi keberagaman politik.
Fragmentasi Demokrasi di Indonesia
Sejak reformasi, sistem multipartai di Indonesia berkembang sangat luas. Pada Pemilu 2024, ada 18 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh yang terdaftar, meski hanya sembilan partai lolos ke DPR. Fragmentasi semacam ini membuat koalisi pemerintahan selalu gemuk dan sarat kompromi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tempo menyoroti fenomena “koalisi gemuk” ini sebagai salah satu sumber inefisiensi demokrasi. Terlalu banyak partai dalam parlemen membuat kebijakan publik kerap ditentukan lewat kompromi pragmatis jangka pendek. Menurut Tempo, penyederhanaan jumlah partai adalah langkah wajar agar koalisi lebih ramping dan stabil.
Kualitas Ideologi Lebih Penting daripada Kuantitas
Kompas dalam berbagai analisisnya menekankan bahwa demokrasi yang sehat ditentukan bukan oleh banyaknya partai, melainkan oleh kualitas ideologi dan kaderisasi. Saat ini, banyak partai di Indonesia hanya berfungsi sebagai kendaraan elektoral, bukan pusat pendidikan politik.
Bagi Kompas, pembatasan jumlah partai baru akan bermakna bila diikuti dengan syarat ideologis dan manajerial yang ketat. Artinya, partai harus punya basis massa yang nyata, mekanisme kaderisasi, dan struktur yang sehat. Tanpa itu, angka 15 hanya sebatas pembatasan kuantitas.
Pluralitas dan Inklusivitas
Republika mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia berakar pada pluralitas. Pembatasan jumlah partai hanya dapat diterima jika mekanismenya inklusif. Aspirasi minoritas, komunitas lokal, dan generasi muda tetap harus mendapatkan ruang representasi.
Karena itu, desain UU Kepartaian baru perlu memastikan agar parliamentary threshold dan regulasi lain tidak hanya menguntungkan partai besar, melainkan tetap memberi kesempatan bagi suara-suara kritis dan alternatif.
Belajar dari Negara Lain
Perbandingan internasional memberi gambaran bahwa jumlah partai berpengaruh langsung terhadap stabilitas pemerintahan:
- Amerika Serikat hanya memiliki dua partai dominan (Demokrat & Republik). Hasilnya: stabilitas tinggi, tapi suara alternatif sering terabaikan.
- Jerman membatasi ambang batas parlemen 5%, sehingga hanya 6 partai besar yang kuat secara ideologi. Koalisi terbentuk, namun relatif stabil.
- India memiliki puluhan partai aktif. Sistemnya inklusif, tetapi pemerintahan sering rapuh jika tidak ada mayoritas jelas.
- Brasil punya lebih dari 30 partai di parlemen. Dampaknya, presiden sulit mengendalikan parlemen dan politik transaksional sangat dominan.
- Jepang didominasi dua partai besar, terutama LDP yang berkuasa puluhan tahun. Stabil, tapi rentan oligarki politik.
Dari perbandingan ini terlihat bahwa terlalu banyak partai → demokrasi inklusif tetapi rentan instabilitas, sedangkan sedikit partai → stabilitas tinggi tetapi rawan oligarki.
Jalan Tengah: 15 Partai Politik sebagai Kompromi
Membatasi jumlah partai maksimal 15 bisa dilihat sebagai kompromi antara dua kutub: tidak terlalu sedikit sehingga menutup keragaman, tetapi juga tidak terlalu banyak sehingga memicu fragmentasi.
Namun, pembatasan ini bukan tujuan akhir. Ada tiga syarat utama agar kebijakan ini berdampak positif:
- Penguatan ideologi dan kaderisasi, sebagaimana diingatkan Kompas.
- Rasionalisasi koalisi dan pemerintahan, sebagaimana disoroti Tempo.
- Perlindungan representasi minoritas, sebagaimana diperingatkan Republika.
Penutup : Gagasan revisi UU Kepartaian dengan pembatasan jumlah partai politik hingga 15 adalah langkah penting dalam konsolidasi demokrasi. Namun, regulasi ini hanya akan bermakna jika didesain inklusif, berbasis ideologi, dan memperkuat akuntabilitas partai.
Indonesia tidak membutuhkan banyak partai yang lemah, melainkan sedikit partai yang kuat, transparan, dan benar-benar mewakili rakyat. Dengan begitu, demokrasi tidak hanya bertahan secara prosedural, tetapi juga tumbuh matang dan berdaya guna bagi bangsa.














