SUARA UTAMA – Gelombang aksi massa di sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir kembali menimbulkan kekhawatiran publik. Demonstrasi yang semestinya menjadi ruang penyaluran aspirasi demokratis justru berakhir dengan kerusuhan, perusakan fasilitas umum, serta bentrokan dengan aparat. Media nasional menyoroti adanya pola serupa di berbagai kota, sehingga memunculkan indikasi adanya pihak yang menunggangi gerakan tersebut.
Media dan Pakar Politik
Harian Kompas menilai pola kerusuhan yang mirip di sejumlah kota menunjukkan adanya skenario terstruktur. Media Indonesia mengingatkan bahwa aspirasi dijamin konstitusi, namun berubahnya aksi damai menjadi anarkis harus ditelusuri aktor intelektualnya. Republika menyoroti peran media sosial sebagai medium provokasi yang digunakan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pakar politik Universitas Indonesia, Prof. Iberamsyah, menyebut kerusuhan tidak mungkin terjadi spontan. “Ada indikasi logistik, framing isu, dan instruksi terencana. Ini bukan sekadar ekspresi massa,” ujarnya. Sementara analis LIPI menegaskan, aktor politik sering memanfaatkan kerumunan untuk kepentingan sesaat.
Contoh Kasus Terbaru
Fenomena provokasi dalam aksi massa bukanlah sekadar teori. Polres Subang mengamankan 43 remaja dan pemuda yang diduga hendak melakukan provokasi dan aksi anarkis dalam demo mahasiswa di Subang, Senin (1/9/2025). Kasus ini menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang sengaja mengaburkan tujuan aksi mahasiswa dengan mendorong kericuhan.
Kejadian tersebut memperkuat analisis banyak pihak bahwa aksi massa kerap ditunggangi oleh kelompok provokator yang berusaha menciptakan instabilitas. Pola serupa juga terlihat di beberapa kota lain, di mana kerumunan mahasiswa dimanfaatkan untuk mengalihkan isu, memperlebar eskalasi, dan mengacaukan situasi.
Suara Tokoh dan Ormas
Tokoh agama dan adat menyerukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Ketua MUI daerah mengingatkan bahwa aspirasi harus disampaikan damai. Sejumlah ormas kepemudaan membentuk Relawan Perisai Keamanan Rakyat untuk membantu aparat mencegah anarkisme di lapangan.
Peran Pemerintah dan Aparat
Presiden Prabowo telah menginstruksikan TNI-Polri mengedepankan dialog, namun tetap tegas bila anarkisme meluas. Menkopolhukam menegaskan pemerintah tidak akan membiarkan demokrasi disandera provokator. Penegakan hukum terhadap dalang kerusuhan menjadi prioritas.
Partisipasi Masyarakat
Meredam kerusuhan tidak cukup hanya mengandalkan aparat. Kepala daerah perlu menggerakkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) agar koordinasi pengamanan lebih cepat. Camat berperan sebagai penghubung langsung dengan masyarakat untuk mencegah provokasi di tingkat kecamatan. Kepala desa menjadi garda terdepan dalam menenangkan warga dan memotong isu liar di akar rumput.
Selain itu, instansi kementerian turut aktif:
- Kementerian Dalam Negeri memperkuat peran kepala daerah menjaga stabilitas politik lokal.
- Kementerian Kominfo menindak tegas penyebaran hoaks pemicu kerusuhan.
- Kementerian Agama bersama tokoh lintas iman meneguhkan narasi moral anti-kekerasan.
- Kementerian Sosial mendukung pemulihan sosial bagi masyarakat terdampak.
Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, ormas, tokoh agama, akademisi, dan media akan membentuk jaring pengaman sosial yang kuat. Aspirasi rakyat tetap tersalurkan, sementara ruang bagi dalang provokator untuk menebar kerusuhan bisa ditutup rapat.
Penutup : Demokrasi Indonesia masih menghadapi ujian serius. Namun, dengan persatuan nasional dan partisipasi semua pihak, kerusuhan dapat dicegah dan aspirasi rakyat tetap terjaga. Aksi massa boleh, anarkisme tidak boleh.














