Oleh: Eko Wahyu Pramono – Anggota IWPI
SUARA UTAMA – Jakarta, 5 Agustus 2025 – Selama lebih dari empat dekade, Indonesia setia pada sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Negara menyerahkan penuh tanggung jawab perpajakan kepada rakyatnya: menghitung sendiri, menyetor sendiri, melapor sendiri. Di atas kertas, ini tampak sebagai bentuk kepercayaan. Di realitas lapangan, sistem ini tak ubahnya ladang jebakan administratif yang sunyi, rumit, dan membahayakan siapa pun yang tidak cukup paham.
Saya tidak berbicara dari ruang seminar atau meja riset. Saya berbicara dari ruang konsultasi yang hampir setiap hari menjadi tempat curhat warga biasa yang stres menghadapi sistem ini. Pedagang kecil, sopir online, guru honorer, ibu rumah tangga yang buka usaha dari dapur mereka datang bukan karena ingin lari dari pajak, tetapi karena tidak tahu lagi bagaimana cara bertahan dari tekanan sistem yang membingungkan ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka bukan pelaku penghindaran pajak. Mereka hanya rakyat biasa yang hidup dalam bayang-bayang SP2DK, takut salah klik di e-filing, takut dikejar karena tidak tahu istilah teknis perpajakan yang terus berubah. Ironisnya, yang seharusnya merasa aman justru merasa dihantui.
Self Assessment: Sistem yang Dibangun di Atas Asumsi, Bukan Realita
Masalah utama dari self assessment adalah kepercayaannya yang naif: bahwa semua warga negara adalah “mini akuntan” yang paham Undang-Undang Pajak, mampu membaca PMK terbaru, dan siap mengisi SPT tanpa kesalahan. Ini adalah ilusi birokrasi yang tidak berpijak pada kenyataan sosial.
Kesadaran pajak itu penting, iya. Tapi kesadaran tanpa pemahaman justru menciptakan ketaatan semu yang rapuh. Kita menyuruh rakyat patuh, tapi tak memberi alat bantu yang layak. Kita memaksa rakyat cerdas pajak, tapi membiarkan mereka tenggelam dalam istilah teknis, kode akun, dan regulasi yang sulit dimengerti bahkan oleh mahasiswa perpajakan.
Dan ketika rakyat keliru? Negara hadir bukan untuk mendampingi, tapi menginterogasi. Bukan menanyakan, “Apa yang membuatmu bingung?” tapi langsung mengirimkan SP2DK. Sistem ini bukan membangun kepatuhan, tapi menanamkan rasa takut sistem yang tidak memanusiakan.
“Pak, Kalau Negara Sudah Tahu, Hitungin Aja…”
Saya ingat benar, satu klien saya seorang ibu rumah tangga yang memproduksi daging olahan dari rumah menerima surat klarifikasi karena rekeningnya terlihat aktif. Padahal, banyak transaksi hanyalah uang keluar masuk dari pelanggan yang berubah pikiran, pesanan dibatalkan, atau uang arisan keluarga. Dia menangis sambil berkata:
“Pak, kalau negara sudah bisa lihat semua data saya, kenapa nggak sekalian hitung aja? Saya tinggal bayar. Kenapa harus dibikin serumit ini?”
Itu bukan keluhan teknis. Itu teriakan minta tolong dari rakyat biasa yang kewalahan menghadapi sistem yang mestinya membantu, bukan menjerat.
Tinggalkan Ilusi Kemandirian, Bangun Sistem yang Berkeadilan
Sudahi glorifikasi sistem self assessment seolah-olah itu simbol kemajuan fiskal. Faktanya, banyak negara yang kini justru mempermudah warganya dengan sistem pre-filled tax atau digital official assessment di mana sistem yang sudah terintegrasi cukup mengirim notifikasi: “Pajak Anda sekian. Silakan cek dan bayar.” Selesai.
Indonesia tidak kekurangan data. Kita punya NIK yang terkoneksi ke rekening, e-commerce, sistem pembayaran digital, laporan e-faktur, hingga data aset. Kita tidak kekurangan alat. Yang kita kekurangan adalah keberanian untuk mengubah pendekatan dari “negara mengawasi rakyat,” menjadi “negara membantu rakyat memenuhi kewajibannya dengan tenang dan jelas.”
Pajak yang Adil Bukan yang Dibiarkan Bebas, Tapi yang Dikelola dengan Tanggung Jawab
Sebagai praktisi pajak, saya akan jauh lebih bahagia jika bisa mendampingi wajib pajak membayar pajak dengan damai daripada melihat mereka hidup dalam kegamangan administratif yang tidak mereka mengerti. Self assessment hanya berhasil bagi segelintir kalangan elit informasi. Bagi jutaan rakyat lainnya, ini sistem yang mengintimidasi diam-diam.
Kita tidak butuh sistem yang hanya tampak demokratis, tapi membiarkan rakyat kecil tersandung dalam diam. Kita butuh sistem yang jelas, presisi, dan melindungi. Pajak yang adil bukan yang diserahkan sepenuhnya kepada rakyat tanpa alat bantu, tapi yang dikelola oleh negara dengan data, logika, dan hati nurani.
Sudahi self assessment. Bangun sistem perpajakan yang berpihak pada kejelasan, bukan kerumitan. Pajak tidak hanya soal penerimaan negara. Pajak adalah soal kepercayaan. Dan kepercayaan, lahir dari kejelasan, bukan dari kebingungan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














