Oleh: Eko Wahyu Pramono
SUARA UTAMA – 3 Agustus 2025 – Ada sebuah foto tua yang menarik perhatian saya. Di dalamnya, tampak dua sosok duduk berdampingan. Yang satu, tampil glamor dalam setelan jas dan peci hitam khas jelas itu Bung Karno. Yang lainnya justru terlihat kontras: seorang pria tua, kurus, berkaus putih dan bercelana pendek, hanya dengan sarung menyelempang di leher. Sosok itu adalah Ki Ageng Suryomentaram.
Penampilannya sederhana, bahkan bisa dibilang seperti orang kampung biasa. Namun di balik itu, beliau adalah bangsawan Keraton Yogyakarta dan pemikir besar yang menciptakan falsafah hidup bernama Kawruh Begja. Filosofi ini membuatnya dijuluki banyak orang sebagai “Plato dari Jawa”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun Ki Ageng bukan hanya seorang pemikir. Ia juga pejuang kemerdekaan yang memilih jalan berbeda. Bahkan, ada klaim yang menyebut dialah penggagas awal terbentuknya Tentara PETA (Pembela Tanah Air). Klaim besar memang, tapi jika melihat kiprah hidupnya, klaim itu bukan hal yang mustahil.
Putra Sultan yang Menolak Menjadi Bangsawan
Nama aslinya adalah Bendara Pangeran Harya (BPH) Suryomentaram, anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Benar, ke-55 karena beliau punya 79 saudara. Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan kraton, lengkap dengan segala kemewahan dan tata kehidupan kebangsawanan. Namun sejak muda, BPH Suryomentaram merasa ada yang kosong dalam hidupnya.
Ia lebih suka menyendiri, belajar, dan semedi. Ketika dewasa, ia mengambil keputusan mengejutkan: meninggalkan kraton dan hidup sebagai rakyat biasa. Ia sempat menghilang ke Cilacap, menjadi pedagang batik, sebelum akhirnya ditemukan sedang menggali sumur di Kroya.
Kembali ke kraton tak serta-merta membuatnya damai. Setelah serangkaian peristiwa, termasuk wafatnya istri tercinta dan pemecatan kakeknya dari jabatan, BPH Suryomentaram memohon agar dilepas dari status bangsawan. Permohonan itu dikabulkan. Sejak itu, ia menjelma menjadi Ki Ageng Suryomentaram. Hidup sebagai petani di Salatiga dan kemudian menjadi filsuf rakyat.
Kawruh Begja: Jalan Menuju Kemerdekaan Batin
Selama 40 tahun lebih, Ki Ageng mengolah pemikirannya menjadi falsafah hidup yang mendalam, disebut Kawruh Jiwa atau Kawruh Begja. Ia tidak menciptakan ilmu untuk tampil hebat atau membangun sekolah filsafat formal. Justru sebaliknya, ia mengajarkan untuk terbebas dari jerat keinginan, tekanan batin, dan penderitaan yang diciptakan diri sendiri.
Salah satu inti ajarannya adalah tentang sifat keinginan manusia yang mulur mengkeret bisa membesar, bisa mengecil, bisa puas, bisa tidak. Maka manusia harus belajar memahami keinginannya sendiri agar bisa menemukan kebahagiaan yang sejati.
Untuk itu, ia merumuskan Nemsa atau enam prinsip sederhana:
- Sakepenake (senyaman-nyamannya),
- Sabutuhe (seperlunya),
- Saperlune (secukupnya),
- Sacukupe (tidak berlebihan),
- Samesthine (sewajarnya), dan
- Sabenere (yang sebenar-benarnya).
Prinsip inilah yang ia yakini bisa membebaskan manusia dari dominasi emosi dan ego, sehingga bisa hidup merdeka, lepas dari penderitaan buatan sendiri.
Pejuang yang Tidak Mencari Nama
Tak hanya mendalami batin, Ki Ageng juga turut dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Antara tahun 1947 hingga 1949, ia memimpin Pasukan Rakyat Jelata sebuah pasukan milisi rakyat yang bergerilya melawan Belanda. Ia dikenal sebagai pengobar semangat gerilyawan, bahkan ketika harus mengungsi ke Gunungkidul.
Setiap malam Jumat, ia memberi wejangan di Bangsal Suwargan, Makam Raja-Raja Imogiri. Di sanalah para pejuang dan rakyat kecil mendengarkan wejangan dari filsuf yang hidup seperti gelandangan tapi berhati besar.
Meski klaim sebagai penggagas PETA masih diperdebatkan, keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah tak terbantahkan.
Diundang Bung Karno, Tetap Berkaus dan Bersarung
Tahun 1957, Presiden Soekarno mengundangnya ke Istana Negara. Tidak ada catatan resmi tentang isi pembicaraan mereka. Tapi satu foto menjadi saksi: dua tokoh besar duduk berdampingan, dengan penampilan yang kontras, tapi saling menghormati.
Dalam foto itu, Bung Karno tetap gagah dengan jas dan peci. Ki Ageng Suryomentaram? Tetap dengan kaos, celana pendek, dan sarung di leher. Ia tidak berubah. Di istana pun, ia tetap dirinya. Ia tidak menyamar jadi orang besar. Justru itu yang membuatnya besar.
Warisan Diam-diam Seorang Filsuf
Ki Ageng Suryomentaram wafat pada 18 Maret 1962, dimakamkan di Cepokosari, Pleret, Bantul. Di sana, tak ada tugu megah. Hanya cungkup dan batu nisan sederhana. Tak ada catatan panjang soal jasanya, tak juga patung atau penghargaan negara.
Tapi mungkin, itulah yang ia inginkan. Tidak terkenal bukanlah masalah. Tidak dikenang pun bukan persoalan. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia telah merdeka bahkan dari keinginan untuk dikenang. Dan justru karena itu, ia pantas diingat.
Catatan:
Tulisan ini disusun ulang oleh Eko Wahyu Pramono berdasarkan sejumlah sumber sejarah dan catatan pemikiran tentang Ki Ageng Suryomentaram, sosok yang tetap sederhana di tengah gegap gempita sejarah bangsanya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














