SUARA UTAMA — Dunia kebijakan publik Indonesia dikejutkan oleh vonis 4 tahun 5 bulan penjara yang dijatuhkan kepada Thomas Trikasih Lembong — mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), eks Menteri Perdagangan, dan figur reformis yang dikenal memiliki jaringan dan reputasi internasional. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan, meski tidak terbukti secara eksplisit memiliki niat jahat (mens rea) dalam tindakan tersebut.
Putusan vonis Pidana untuk Tom Lembong selama 4 tahun 6 bulan telah menimbulkan keprihatinan luas, baik dari kalangan akademisi, profesional, hingga masyarakat umum. Kasus ini mungkin bisa dikatakan peristiwa langka tapi nyata terjadi, sehingga mengangkat kembali perdebatan lama tentang batas antara pelanggaran administratif dan ranah tindak pidana dalam kebijakan publik.
Putusan Vonis ini menjadi refleksi penting dan sekaligus titik gempa etik dalam dinamika administrasi publik Indonesia. Di satu sisi, publik menuntut keadilan dan akuntabilitas; di sisi lain, muncul pertanyaan besar:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tepatkah menghukum pemangku keputusan publik jika tidak terbukti memiliki niat jahat, tetapi hanya keliru dalam prosedur dan pertimbangan kebijakan?”
Etika di Meja Kekuasaan : Sekedar Narasi ?
Selama ini, Tom Lembong dianggap mewakili generasi teknokrat bersih, profesional, dan berorientasi hasil. Namun fakta hukum mengungkapkan adanya tindakan administratif yang melanggar prinsip tata kelola, meski tidak ada bukti kuat bahwa ia mencari keuntungan pribadi.
Prof. Dr. Nurul Huda, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Padjadjaran menegaskan:
“Dalam sistem hukum kita, tidak semua pelanggaran administratif harus dimaknai sebagai kejahatan pidana. Tapi dalam kasus publik, akibat dari kelalaian tetap bisa menimbulkan kerugian negara — dan itu yang harus ditindak.”
- Dampak pada Kultur Pengambilan Kebijakan: Antara Efek Jera dan Ketakutan Struktural
Vonis ini bisa menghasilkan efek ganda:
- Efek jera positif, mendorong pemangku kepentingan lebih taat prosedur dan menghindari konflik kepentingan tersembunyi.
- Namun juga berpotensi menciptakan ketakutan struktural, di mana pejabat menjadi terlalu berhati-hati atau bahkan enggan membuat keputusan strategis.
Dr. Rini Wulandari, peneliti dari Pusat Kajian Reformasi Administrasi UI mengatakan:
“Birokrasi yang takut dipidana bisa mengalami kelumpuhan moral. Tapi jika tanpa vonis tegas, publik tidak percaya lagi pada komitmen etika negara. Di sinilah pentingnya garis tegas antara kesalahan administratif dan niat jahat.”
- Kejelasan Batas: Salah Kelola vs. Niat Jahat
Salah satu pelajaran besar dari kasus ini adalah perlunya distingsi antara kegagalan kebijakan (policy failure), kesalahan teknis administrasi, dan tindak pidana korupsi.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, menyampaikan:
“Negara perlu punya pedoman etika kebijakan yang bisa membedakan mana kesalahan pengambilan kebijakan karena niat baik tapi tidak akurat, dan mana pelanggaran hukum karena motif tersembunyi.”
- Citra Publik dan Runtuhnya Mitos Figur Reformis
Bagi publik, vonis ini merontokkan anggapan bahwa integritas personal bisa menjamin kekebalan terhadap sistem korup. Sosok reformis tetap bisa terperangkap oleh mekanisme kekuasaan yang tidak akuntabel.
Namun, bukan berarti seluruh warisan reformasi harus dicoret. Banyak analis
Penutup : Bukan Soal Niat, Tapi Tanggung Jawab Kekuasaan
Kasus Tom Lembong menegaskan satu pelajaran penting dalam praktik administrasi publik:
Dalam jabatan publik, tidak adanya niat jahat bukan berarti bebas dari hukuman.
Dalam sistem hukum dan tata kelola negara modern, niat baik tidak cukup menjadi pembelaan jika tindakan atau kebijakan yang diambil menimbulkan kerugian publik, melanggar prinsip transparansi, atau melibatkan konflik kepentingan — sadar maupun tidak sadar.
Hal ini bukan hanya terjadi pada Tom Lembong. Sebelumnya, publik juga menyaksikan sejumlah kepala daerah, menteri, dan pejabat tinggi lainnya yang dijatuhi vonis pidana bukan karena mereka terbukti mencuri, tetapi karena lalai, abai prosedur, atau memberi keuntungan tidak langsung pada pihak tertentu. Misalnya:
- Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama (Ahok), divonis dalam perkara penafsiran pidato yang dianggap menyinggung unsur agama — meski tidak terbukti memiliki niat permusuhan.
- Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, diawali dari kelalaian mengawasi bansos, kemudian terungkap ada mekanisme ijon vendor yang merugikan publik.
- Beberapa kepala daerah, seperti Bupati Probolinggo dan Walikota Bekasi, divonis meski awalnya membela diri bahwa mereka hanya mengikuti arus perintah atau sistem yang sudah berjalan.
Dalam semua kasus itu, muncul satu pola yang konsisten:
“Ketika berada dalam posisi kekuasaan publik, setiap kelalaian adalah risiko hukum, dan setiap kompromi adalah potensi pelanggaran.”
Karena itu, vonis terhadap Tom Lembong — terlepas dari simpati atas latar belakang profesionalismenya — adalah peringatan keras bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan sekadar posisi strategis. Ia menuntut kehati-hatian tinggi, transparansi total, serta kesadaran penuh bahwa keputusan sekecil apapun memiliki konsekuensi hukum dan moral.
Indonesia ke depan membutuhkan bukan hanya pejabat yang pintar dan berniat baik, tapi juga sistem kuat yang mampu mencegah niat baik menjadi kebijakan buruk, serta mengawal integritas agar tidak tenggelam dalam kelalaian prosedural.
Jika tidak, maka vonis 4,5 tahun atas Lembong hanya akan menjadi satu bab dari daftar panjang kasus serupa — dan bukan awal dari perubahan besar yang kita butuhkan.
Sumber Berita : Referensi : • Putusan Tipikor Jakarta Pusat No. 52/Pid.Sus/TPK/2025 • Wawancara Prof. Nurul Huda (Unpad), Dr. Rini Wulandari (UI), Dr. Zainal Arifin Mochtar (UGM) • Kompas, “Etika Pengambil Keputusan Publik dalam Sorotan Pasca Vonis Lembong” • Tempo, “Ketika Integritas Sendiri Tidak Cukup” (Juli 2025)














