SUARA UTAMA – Antara Aspirasi Daerah dan Realitas Administratif
Wacana pemekaran wilayah Jawa Barat kembali mengemuka, didorong oleh kepadatan penduduk, ketimpangan pelayanan publik, dan harapan percepatan pembangunan daerah. Saat ini, Jawa Barat merupakan provinsi terpadat di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta jiwa, menyumbang beban administratif dan pelayanan yang sangat besar bagi pemerintah provinsi.
Namun, urgensi pemekaran tidak bisa hanya didasarkan pada dorongan politik atau desakan elite daerah. Dibutuhkan pendekatan manajerial yang kritis dan kalkulatif untuk menilai apakah pemekaran benar-benar akan meningkatkan efisiensi tata kelola wilayah—atau justru membebani negara dengan anggaran baru yang tak sedikit.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Efisiensi Manajemen Wilayah: Teori dan Realitas
Secara teoritis, pemekaran wilayah dapat menjadi solusi manajerial untuk mendekatkan layanan kepada masyarakat, memperpendek rantai birokrasi, serta meningkatkan daya saing daerah. Namun dalam praktik, banyak pemekaran yang justru menghasilkan tumpang tindih kewenangan, inefisiensi anggaran, hingga memperluas ruang korupsi di daerah baru.
Studi Kementerian Dalam Negeri dan LIPI (2013–2017) menunjukkan bahwa lebih dari 70% daerah otonomi baru (DOB) pasca-reformasi belum menunjukkan kinerja yang signifikan dalam pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Artinya, pemekaran belum tentu membawa efisiensi jika tidak dibarengi dengan kesiapan manajemen, SDM, serta tata kelola fiskal yang kuat.
Beban Anggaran Negara: Pemekaran yang Mahal
Pemekaran wilayah membutuhkan biaya besar, terutama pada fase awal pembentukan daerah baru. Beberapa komponen anggaran yang harus ditanggung negara antara lain:
- Pembangunan Infrastruktur Pemerintahan: Kantor bupati, gedung DPRD, kantor dinas, dan fasilitas publik.
- Penggajian Aparatur Baru: Rekrutmen ASN baru dan alokasi gaji serta tunjangan dari APBN.
- Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK): DOB berhak mendapat transfer fiskal, meskipun kontribusi PAD (pendapatan asli daerah) masih minim.
- Biaya Transisi dan Administrasi: Mulai dari penyusunan regulasi, pemetaan wilayah, hingga proses pemilihan kepala daerah.
Menurut catatan Badan Keuangan Negara, pembentukan satu DOB membutuhkan anggaran minimal Rp200 miliar hingga Rp500 miliar dalam 5 tahun pertama. Jika Jawa Barat dimekarkan menjadi 3 wilayah baru (seperti wacana Provinsi Bogor Raya, Cirebon Raya, dan Bekasi Raya), potensi beban negara bisa mencapai lebih dari Rp1,5 triliun, belum termasuk biaya tahunan operasional.
Apakah Pemekaran Menjamin Pelayanan yang Lebih Baik?
Argumen utama pendukung pemekaran adalah pendekatan pelayanan kepada rakyat. Namun kenyataan di banyak DOB menunjukkan bahwa pelayanan publik tidak serta merta meningkat, bahkan banyak yang stagnan. Di sisi lain, pemekaran sering kali menjadi alat mobilisasi elite politik lokal untuk membentuk kekuasaan baru, bukan solusi teknokratis atas kebutuhan rakyat.
Sebagai contoh, daerah pemekaran seperti Kabupaten Mahakam Ulu (Kalimantan Timur) atau Kabupaten Pulau Morotai (Maluku Utara) masih mengalami ketergantungan tinggi pada pusat, dengan PAD di bawah 5% dari total APBD. Kondisi ini rawan menjadikan DOB sebagai “wilayah subsidi” jangka panjang yang tidak mandiri secara fiskal maupun administratif.
Alternatif Efisiensi Tanpa Pemekaran
Alih-alih melakukan pemekaran, peningkatan efisiensi manajemen wilayah bisa dilakukan melalui:
- Digitalisasi Pemerintahan dan Pelayanan Publik
Memperkuat e-governance untuk memperpendek rantai birokrasi dan mempercepat pelayanan.
- Reformasi Tata Kelola Wilayah
Optimalisasi unit kerja daerah, redistribusi beban kerja antar OPD, dan pemangkasan prosedur.
- Penguatan Pemerintahan Kecamatan dan Kelurahan
Desentralisasi fungsional ke kecamatan bisa mendekatkan layanan tanpa harus membentuk wilayah baru. - Percepatan Infrastruktur Transportasi dan Konektivitas
Jalan, kereta, dan akses digital antarwilayah akan lebih cepat meningkatkan pembangunan dibandingkan pembentukan provinsi baru.
Kesimpulan: Menimbang Secara Rasional, Bukan Emosional
Pemekaran wilayah bukan sekadar soal memperluas peta administratif, melainkan menyangkut tata kelola anggaran negara dan efisiensi pelayanan publik. Dalam konteks Jawa Barat, wacana pemekaran harus ditimbang dengan pendekatan efisiensi manajemen wilayah, bukan sekadar tekanan politik atau populisme lokal.
Pemerintah pusat perlu melakukan kajian mendalam berbasis data, termasuk proyeksi fiskal dan kesiapan SDM, sebelum menyetujui pemekaran baru. Karena jika tidak, yang lahir bukan wilayah yang lebih efisien, tetapi justru beban baru bagi keuangan negara dan rakyat.
Sumber Berita : Referensi : • Kementerian Keuangan RI. (2022). Laporan Transfer ke Daerah. • Bappenas. (2020). Evaluasi Kinerja Daerah Otonomi Baru. • LIPI. (2018). Efektivitas Pemekaran Wilayah di Indonesia. • Kompas. (2024). “Jawa Barat Didorong Mekar, Bogor dan Cirebon Siap?”














