Rawajitu Selatan-Lanjut lagi perkara gangguan dari oknum yang ngakunya wartawan. Yah, entah bohong atau seriusan jadi wartawan, nggak ngefek juga ke saya. Pernah sekolah dapat bantuan DAK tahun Lalu (2023). Sekolah didatangi serombongan orang membawa satu mobil. Saya ingat betul, karena saya masih mengajar menggantikan guru yang berhalangan hadir. Mereka tidak permisi, tidak salam, tidak bertanya langsung main ngecek-ngecek Lokasi. Seolah-olah mereka punya wewenang untuk melakukan itu. Setelahnya baru mereka menanyakan mana kepala sekolahnya.
Singat cerita, masuklah 5 orang ke dalam ruangan guru, sengaja nggak saya minta masuk ke ruangan saya. Soalnya ruangan saya sempit. Dua orang guru saya minta menemani. Jadi posisi saya ditengah mereka. Maka, dimulaiah drama.
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang saya pikir bukan ranah mereka untuk menanyakan. Saya coba jelaskan tanpa menyinggung perasaan mereka. Karena inilah adab dan etika yang sesungguhnya. Ternyata eh ternyata, mereka mulai mencari-cari kesalahan dan ujung-ujungnya menawarkan perdamaian. Pake segala ancaman dikeluarkan. Mereka pikir (mungkin) karena kita tinggal di pelosok, maka akan dengan mudah diancam dan diintimidasi. Nggak mempan, Bambang! Lah, wong saya tidak merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhirnya dipotolah saya dengan ijin tapi, maksa. Gantian, dong, saya juga motion mereka. Apa kata mereka?
“Untuk apa Ibu ambil gambar kami?”
Pertanyaan aneh. Ya, masak mau untuk koleksi saya. Ogah, banget!
“Sama seperti kepentingan bapak ketika mengambil poto saya.” Jawab saya.
“Nggak perlu, Bu!” sahut salah satu diantara mereka.
Tetap saja saya minta salah seorang guru untuk potion mereka. Walaupun akhirnya setelah mereka pergi, ternyata guru saya tersebut nggak bisa ngambil poto mereka. Ternyata, tangannya gemeteran melihat saya dicecar lima orang yang tampangnya sangar-sangar.
“Kalau gitu, Bapak-bapak juga nggak perlu ambil gambar saya.” Sahut saya lagi.
“Tidak usah mengalihkan pembicaraan.” Kata salah satu diantara mereka.
Mereka ngotot minta ketemu Yayasan dan komite. Untuk apa? Biar bisa ditekan rame-rame? Saya tidak bersedia. Karena waktu sudah masuk ashar lewat setengah jam, maka saya meminta mereka untuk segera menyelesaikan urusan. Eh, ngotot, dong, merekanya nggak mau.
“Ya, sudah, silahkan ibu solat dulu, kami akan tunggu.”
Etdah! Mau ngomongin apalagi, sih!
“Nggak bisa, Pak. Saya nggak mau ditunggu. Silahkan apa lagi yang mau bapak-bapak ini tanyakan.” Kata saya, masih menahan diri untuk tetap berkata sesopan mungkin. Sebenernya mau tak tambahin, cukup suami saya aja, yang nunggu saya di rumah, dengan penuh cinta dan kasih sayang. He .. he.. he … .
“Kami akan naikkan berita tentang sekolah, Ibu. Jika Ibu tidak bisa diajak bicara baik-baik.” Ujar salah satu yang berkumis agak tipis.
Ya salaaaaaaam!
Orang nyari duit, kok, gini amat, sih!
Nggak malu apa sama Aki-aki dan Nini-Nini, yang nyari duitnya ngumpulin rongsokkan?
Saya sudah mendengar baik-baik, sudah menjamu mereka dengan sopan dan santun, masih aja diomongin Nggak bisa diajak bicara baik- baik. Memang dari tadi saya bentak-bentak mereka? Saya ngomong sambil melotot? Saya dengerin mereka ngancam-ngancam sambil tiduran? Kan, Nggak!
Ck! Sudah dulu, ya. Jadi, emosi saya nulis ini. Inshaallah, nanti saya sempatkan tulis lagi.