SUARA UTAMA, Tulang Bawang- Udang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan di Indonesia. Dengan garis pantai lebih dari 81.000 kilometer, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi penghasil udang terbesar di dunia. Namun, sayangnya, hingga hari ini, besarnya potensi akuakultur yang ada di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena berbagai alasan.
Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, adalah salah satu areal pertambakan terbesar yang dimiliki oleh negeri ini. Dengan luas 16.250 hektar, mampu memproduksi udang segar lebih dari 140 ton per hari dalam kondisi optimal. Namun, saat ini, ditengah merebaknya penyakit AHPND dan menurunnya minat usaha budidaya masyarakat karena tingginya biaya produksi serta murahnya harga jual udang, produksi Dipasena tidak lebih dari 1–10 ton saja.
Kendala-kendala yang dialami petambak Bumi Dipasena dalam meningkatkan kesejahteraan dan produksi udang segar telah menarik perhatian banyak pihak, mulai dari pihak swasta hingga pemerintah. Berbagai persoalan yang menjadi perhatian serius, antara lain, status lahan, saluran irigasi, green belt, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, petambak udang Bumi Dipasena sendiri justru memiliki sudut pandang yang berbeda dalam rangka penyelesaian pokok masalah yang ada. Sebut saja namanya Arie Suharso, dimana menurut persepektif beliau, selama ini pemerintah selalu menyampaikan target produksi dan target produksi, namun implementasi yang dilakukan kurang tepat, karenanya target produksi pun jauh dari kata tercapai.
Ia mengusulkan agar mindset pemerintah dan swasta berubah, fokus bagaimana membuat pelaku budidaya (petambak) sejahtera.
“Mulai sekarang, mindset semua stakeholder seharusnya diubah. Yang menjadi target seharusnya bukan lagi peningkatan produksi tapi peningkatan kesejahteraan para petambak dan keluarganya, Kalau petambaknya sejahtera, maka dengan sendirinya produksi udang pun akan ikut meningkat,” ujar Arie.
Arie pun menyampaikan bahwa selama 15 tahun terakhir konsentrasi revitalisasi pertambakan Dipasena dipusatkan pada saluran irigasi, dan belum menyentuh revitalisasi dan rekonstruksi petak tambak. Akibatnya hasil produksi terus mengalami penurunan secara drastis.
Kedepan ia berharap, sebaiknya lebih fokus pada rekonstruksi 17.000 petak tambak milik masyarakat, karena konstruksinya sudah terlalu parah. Ini juga bagian dari tawaran solusi. Terkatung-katungnya rencana revitalisasi irigasi selama ini karena kendala status hukum kepemilikan lahan irigasi yang belum jelas, sementara petak tambak sudah tidak ada kendala, karena semua sudah SHM.
Sambil proses legalitas lahan irigasi diselesaikan, ada pekerjaan di depan mata yang menanti yakni rekonstruksi petak-petak tambak.
“Pendalaman saluran irigasi akan sia-sia jika petakan tambak yang digunakan untuk budidaya kondisinya bocor di mana-mana dan tidak bisa menahan ketinggian air. Jika ada tambak yang terinfeksi penyakit kemudian bocor ke saluran inlet, maka akan menyebar ke mana-mana,” Kata Arie Suharso.
Budidaya udang memang sejatinya mengkondisikan lingkungan air dalam tambak menjadi senyaman mungkin untuk udang tumbuh dan besar. Dengan kondisi kualitas air yang terjaga, kebutuhan sarana produksi pun dapat diminimalisir.
Revitalisasi pertambakan di Dipasena harus dilakukan dengan cermat, termasuk rekonstruksi petakan tambak, perbaikan konstruksi jetty/breakwater, dan pengerukan saluran irigasi. Diperlukan kajian menyeluruh untuk memastikan efisiensi dan hasil yang optimal dalam upaya meningkatkan produksi udang dan kesejahteraan masyarakat petambak.