SUARA UTAMA — “Jurnalisme adalah senjata. Di tangan yang salah, ia melukai. Di tangan yang benar, ia menyelamatkan.”
Dua kisah berikut menunjukkan betapa tipisnya batas antara wartawan sebagai penjaga kebenaran dan pelaku pemerasan.
Cerita pertama: Seorang kawan yang memasang jaringan internet Starlink di daerah terpencil dikejutkan oleh pesan dari seorang wartawan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Alih-alih mengapresiasi usahanya menghubungkan wilayah blank spot dengan dunia luar, wartawan itu justru mempertanyakan legalitas pemasangan jaringan.
Nada ancaman muncul, disertai draf berita yang seakan siap menyerang. Tak lama kemudian, ajakan bertemu mengarah ke praktik “86” — kode rahasia pemerasan agar berita negatif tak terbit.
Ketakutan pun muncul, karena jika satu oknum dilayani, biasanya akan bermunculan oknum lain yang ikut meminta bagian.
Cerita kedua: Ada wartawan yang menerima curhat keluarga tenaga kerja wanita (TKW) di Singapura yang kesulitan pulang untuk menikah.
Dengan profesional, wartawan ini menghubungi agen penyalur, mengonfirmasi situasi, lalu menjelaskan kepada keluarga TKW bahwa kendala lebih pada birokrasi, bukan kesengajaan.
Sang wartawan mendorong komunikasi yang baik, menjadi jembatan antara keluarga dan agen untuk memastikan kepulangan si anak tetap terpantau.
Dua cerita ini menggambarkan paradoks tajam dalam dunia jurnalistik: wartawan bisa menjadi predator yang memangsa warga, atau menjadi penjaga harapan yang memperjuangkan solusi.
Pada kasus pertama, kita melihat bagaimana kekuasaan informasi disalahgunakan untuk menekan dan memeras.
Wartawan yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan publik malah berubah menjadi ancaman yang menghambat inisiatif positif masyarakat.
Praktik seperti ini bukan hanya merusak kepercayaan terhadap media, tetapi juga memperburuk stigma bahwa pers adalah alat kepentingan pribadi, bukan penjaga kebenaran.
Sebaliknya, kasus kedua adalah pengingat bahwa jurnalisme yang tulus dan profesional masih hidup.
Wartawan yang bersedia menjadi mediator, memverifikasi informasi, dan mendorong komunikasi yang sehat menunjukkan bahwa pers masih bisa menjadi pilar keadilan sosial.
Di sinilah makna sejati profesi wartawan: bukan sekadar melaporkan peristiwa, melainkan ikut terlibat secara moral untuk mengurai masalah dan membawa harapan bagi mereka yang suaranya sering tak terdengar.
Pers adalah kekuatan besar yang bisa membangun atau meruntuhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, wartawan harus selalu ingat bahwa tugas utamanya bukan mencari keuntungan pribadi, melainkan memperjuangkan kebenaran dan kepentingan masyarakat.
Masyarakat juga punya peran penting: jangan takut melawan pemerasan berkedok jurnalistik.
Laporkan ke Dewan Pers atau organisasi media jika menemukan pelanggaran etika. Di sisi lain, dukung dan apresiasi media yang menjunjung tinggi integritas. Dari sanalah kita bisa berharap ada perubahan nyata yang berpihak pada rakyat kecil.
Pada akhirnya, kejayaan pers terletak pada keberanian para jurnalis untuk berdiri tegak di sisi kebenaran — meski tanpa imbalan materi, tetapi dengan kekayaan moral yang jauh lebih bermakna.
Karena hanya dengan itulah, jurnalisme bisa kembali menjadi cahaya yang menerangi kegelapan, bukan bayangan yang menambah beban masyarakat.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung