SUARA UTAMA – Gelombang aksi mahasiswa kembali menggema. Kali ini, sorotan tajam diarahkan kepada tunjangan rumah bagi anggota legislatif. Teriakan “hapus tunjangan rumah DPR/DPRD” mencerminkan kegelisahan publik terhadap praktik anggaran yang dinilai tidak adil di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih sulit. Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya regulasi perumahan legislatif di Indonesia, dan apakah tuntutan mahasiswa beralasan?
Regulasi Perumahan Legislatif
Tunjangan perumahan diatur dalam:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/PMK.02/2016 tentang Standar Biaya Masukan.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa anggota DPR dan DPRD berhak atas tunjangan rumah apabila tidak disediakan rumah dinas. Besarannya mencapai puluhan juta rupiah per bulan untuk anggota DPR RI, dan belasan juta rupiah untuk anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota (tempo.co, 2022; kompas.id, 2023).
Tuntutan Mahasiswa
Menurut pernyataan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM Nusantara) dalam aksi September 2025 di Jakarta, tunjangan rumah anggota legislatif adalah bentuk “pemborosan anggaran negara yang mencederai rasa keadilan sosial.” Mereka menilai, dengan gaji pokok dan berbagai tunjangan lain yang sudah besar, fasilitas tambahan rumah tidak lagi relevan.
Mahasiswa mengusulkan agar anggaran dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan, serta subsidi rumah rakyat.
Pandangan Akademisi dan Pakar
- Zainal Arifin Mochtar (ahli hukum tata negara UGM) pernah menyatakan bahwa tunjangan dan fasilitas pejabat publik sah secara hukum, namun perlu ditinjau dari sisi moralitas politik. “Hukum boleh mengatur, tapi etika publik menuntut kesederhanaan,” ujarnya (kompas.com, 2021).
- Trubus Rahadiansyah, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, menilai DPR sebaiknya mengurangi beban APBN dengan membatasi fasilitas mewah. “Legitimasi wakil rakyat ditentukan oleh integritas, bukan kemewahan fasilitas,” katanya (detik.com, 2022).
Pandangan Media Nasional dan Ormas
- Media Nasional seperti Tempo (2022) menyebut tunjangan rumah sebagai “duri dalam daging” citra DPR yang sulit dibersihkan.
- PBNU dalam forum tahun 2023 menekankan perlunya efisiensi anggaran negara agar lebih berpihak pada rakyat kecil.
- Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM (2024) menyatakan bahwa prinsip keadilan sosial harus menjadi dasar dalam penataan fasilitas pejabat negara.
Rekomendasi Solusi
- Pembangunan Kompleks Perumahan Dinas Legislatif
- Pemerintah dapat membangun housing complex khusus anggota DPR/DPRD, dengan fasilitas layak dan nyaman, tetapi tetap wajar.
- Skema ini akan menekan biaya tunjangan perumahan yang selama ini dibayarkan per bulan dan terus membengkak.
- Konsep serupa telah diterapkan di negara lain, misalnya Malaysia (Parliament Housing Complex) dan India (Parliamentarians’ Housing Colony).
- Transparansi dan Audit Fasilitas
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK perlu melakukan audit menyeluruh terhadap belanja tunjangan legislatif agar sesuai asas kepatutan.
- Publikasi laporan tahunan mengenai total belanja fasilitas DPR/DPRD.
- Skema Sharing Budget : Anggota legislatif dengan latar belakang ekonomi mapan bisa memilih untuk menolak fasilitas rumah, sehingga anggaran dialihkan ke program subsidi rumah rakyat.
- Penguatan Etika Publik :
- Partai politik perlu mendorong kader legislatifnya untuk memberi teladan hidup sederhana, sebagai bagian dari reformasi etika politik.
Penutup : Tuntutan mahasiswa menghapus tunjangan rumah legislatif bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tetapi menyangkut legitimasi moral DPR di mata rakyat. Dengan membangun kompleks perumahan dinas legislatif yang transparan dan efisien, pemerintah bisa menjawab kebutuhan pejabat tanpa mengabaikan rasa keadilan publik.
Sejarah membuktikan, kepercayaan rakyat tidak dibeli dengan fasilitas, melainkan dengan integritas.














