Oleh: Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP – Praktisi Pajak dan Hukum
SUARA UTAMA – 22 Agustus 2025 – Dalam hukum pidana Indonesia, istilah tertangkap tangan sering digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang ditangkap saat atau segera setelah melakukan tindak pidana. Namun, hal ini berbeda dengan konsep Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seseorang yang ditangkap melalui OTT oleh KPK, meskipun masih dalam konteks percobaan dan tanpa memenuhi empat keadaan yang diatur dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, tetap dapat dikategorikan mengalami tertangkap tangan.
Seiring berjalannya waktu, beberapa pernyataan tentang keefektifan OTT dalam pemberantasan korupsi menuai pro dan kontra. Beberapa pihak mengkritik tindakan OTT karena dianggap sebagai tradisi yang tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kritik tersebut lebih ditujukan pada kenyataan bahwa OTT dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang sudah terkumpul sebelumnya, sementara dalam hukum acara pidana Indonesia, tertangkap tangan seharusnya merujuk pada penangkapan yang dilakukan saat atau segera setelah tindak pidana dilakukan, tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pandangan ini hanya melihat dari sudut definisi yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sementara pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang lebih luas dan sistematis. Oleh karena itu, meskipun konsep tertangkap tangan dalam KUHAP tidak sepenuhnya sesuai dengan praktik OTT yang dilakukan KPK, hal ini tidak mengurangi keabsahan tindakan OTT dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tertangkap Tangan vs. OTT
Tertangkap tangan (delictum flagrans) adalah istilah yang sudah ada sejak zaman Romawi, dan konsep ini diterima secara luas di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkap tangan diartikan sebagai keadaan di mana seseorang tertangkap saat sedang melakukan tindak pidana atau segera setelah tindak pidana dilakukan. KUHAP merumuskan empat keadaan dalam tertangkap tangan, yaitu:
- Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana;
- Tertangkapnya seseorang segera setelah tindak pidana dilakukan;
- Seseorang yang diserukan oleh khalayak ramai sebagai pelaku tindak pidana;
- Tertangkapnya seseorang karena ditemukan benda yang menunjukkan keterlibatannya dalam tindak pidana.
Namun, dalam prakteknya, tidak semua operasi yang dilakukan oleh KPK dapat langsung dihubungkan dengan empat keadaan tersebut. OTT yang dilakukan oleh KPK seringkali melibatkan penyadapan dan bukti permulaan yang dikumpulkan sebelumnya, sehingga tidak selalu sesuai dengan pengertian tradisional tertangkap tangan menurut KUHAP.
Sebagai contoh, dalam kasus Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang tertangkap dalam OTT oleh KPK pada Agustus 2025, terjadi saat penyelidikan terkait dugaan pemerasan terhadap beberapa perusahaan yang sedang mengurus sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pada saat OTT dilakukan, transaksi suap yang melibatkan pemberi dan penerima suap belum sepenuhnya selesai, sehingga tidak memenuhi kriteria tertangkap tangan yang ditentukan dalam KUHAP. Meskipun demikian, tindakan OTT tetap sah karena bukti permulaan yang cukup telah terkumpul sebelumnya melalui penyadapan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini, OTT dilakukan untuk mengamankan barang bukti dan menangkap pelaku kejahatan sebelum bukti-bukti tersebut hilang atau disembunyikan lebih lanjut.
Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi, khususnya suap, sering kali dilakukan dengan cara yang tersembunyi, sehingga sulit untuk memperoleh bukti yang cukup tanpa menggunakan metode khusus seperti OTT. Dalam hal ini, KPK sering mengandalkan bukti permulaan yang diperoleh melalui penyadapan untuk memastikan bahwa tindak pidana korupsi benar-benar terjadi.
Menurut prinsip hukum pidana “beyond reasonable doubt“, dalam setiap perkara pidana, bukti-bukti yang ada harus cukup kuat dan tidak menimbulkan keraguan bagi hakim. Dalam konteks tindak pidana korupsi, di mana pelakunya seringkali berusaha menghapus jejak kejahatannya, OTT menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mendapatkan bukti yang sah dan kuat.
Perlu dicatat bahwa dalam hukum pidana Indonesia, percobaan melakukan tindak pidana korupsi (seperti percakapan suap yang belum selesai) dianggap setara dengan tindak pidana yang telah selesai. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengatur bahwa percobaan melakukan tindak pidana korupsi dipersamakan dengan perbuatan pidana korupsi yang telah selesai. Oleh karena itu, meskipun dalam OTT tidak selalu ada keadaan yang memenuhi kriteria dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, tindakan tersebut tetap sah dan dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan proses hukum lebih lanjut.
Kewenangan KPK dalam Melakukan OTT
KPK memiliki kewenangan yang jelas dalam melakukan penyadapan sesuai dengan Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 12C UU KPK. Kewenangan ini memberikan dasar hukum bagi KPK untuk melakukan tindakan OTT sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa bukti permulaan yang terkumpul dapat dijadikan bukti yang sah dalam proses hukum lebih lanjut.
Penyadapan yang dilakukan oleh KPK dilakukan dengan persetujuan Dewan Pengawas dan menjadi salah satu langkah awal dalam proses penyelidikan, untuk memastikan bahwa tindak pidana korupsi benar-benar terjadi. Setelah bukti yang cukup terkumpul, OTT dilakukan untuk mengamankan barang bukti dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi sebelum kejahatan tersebut dapat disembunyikan lebih lanjut.
Dalam konteks ini, meskipun OTT tidak selalu memenuhi definisi tertangkap tangan menurut KUHAP, langkah tersebut tetap sah dan memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan untuk menggunakan langkah-langkah luar biasa guna menanggulangi kejahatan luar biasa yang sistemik dan terstruktur ini.
Kesimpulan
Meskipun ada perbedaan antara konsep tertangkap tangan menurut KUHAP dan praktik OTT yang dilakukan KPK, keduanya tetap berfungsi untuk tujuan yang sama: pemberantasan tindak pidana. KPK dapat melakukan OTT meskipun tidak seluruhnya memenuhi kriteria tertangkap tangan menurut KUHAP, karena tindakan tersebut didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan sah. Kewenangan KPK dalam melakukan OTT, yang didukung dengan penyadapan dan bukti permulaan, membuat tindakan ini sah secara hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, meskipun ada perdebatan tentang praktik OTT, hal ini harus dilihat dalam konteks pemberantasan kejahatan luar biasa yang membutuhkan langkah-langkah yang tidak biasa.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














