SUARA UTAMA – Jika negara ini serius mengklaim Pasal 33 UUD 1945 sebagai roh perekonomian nasional, maka menunda pengakuan terhadap Sumitro Djojohadikusumo sebagai Pahlawan Nasional adalah ironi konstitusional. Sebab, Sumitro bukan sekadar ekonom, melainkan arsitek awal bagaimana Pasal 33 diterjemahkan menjadi kebijakan negara.
Negara yang Lupa pada Arsiteknya
Indonesia pascakemerdekaan berdiri dalam kondisi nyaris tanpa instrumen ekonomi. Tidak ada sistem fiskal mapan, tidak ada sumber daya manusia ekonomi, bahkan tidak ada bahasa kebijakan yang seragam. Di ruang kosong itulah Sumitro hadir—membangun dari nol apa yang hari ini dinikmati negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ironisnya, negara kerap lebih cepat menganugerahkan gelar pahlawan kepada figur simbolik ketimbang mereka yang merancang tulang punggung republik. Padahal tanpa fondasi ekonomi, kemerdekaan hanya akan menjadi slogan politik.
Pasal 33: Bukan Sekadar Ayat, tapi Agenda Kekuasaan
Pasal 33 UUD 1945 bukan teks netral. Ia adalah pernyataan politik tentang siapa yang menguasai sumber daya dan untuk siapa ekonomi dijalankan. Sumitro memahami hal ini sejak awal. Ia menolak ekonomi pasar bebas dan menegaskan peran negara dalam sektor strategis.
Dalam konteks hari ini—ketika oligarki menguasai tambang, hutan, dan energi—pemikiran Sumitro justru berdiri di sisi konstitusi, bukan pasar. Mengabaikan jasanya sama dengan mengabaikan akar ideologis ekonomi Indonesia.
Kontroversi PRRI: Alibi Murah untuk Amnesia Sejarah
Menjadikan episode PRRI sebagai alasan menolak gelar pahlawan adalah jalan pintas yang malas secara historis. Sejarah republik penuh dengan tokoh yang pernah berbeda jalan, bahkan berkonflik dengan negara, namun tetap diakui jasanya.
Pertanyaannya bukan apakah Sumitro pernah salah langkah politik, melainkan apakah negara hari ini berani menilai jasa secara adil, atau memilih selektif demi kenyamanan kekuasaan.
Ilmu Pengetahuan adalah Medan Perang
Negara sering lupa bahwa pembangunan bukan hanya hasil senjata dan pidato, tetapi juga hasil pikiran yang terlembaga. Sumitro mendidik generasi ekonom yang mengelola republik lintas rezim. Itu adalah bentuk perjuangan jangka panjang yang dampaknya melampaui satu periode kekuasaan.
Jika ilmu dan institusi tidak diakui sebagai medan perjuangan, maka negara sedang meremehkan bentuk kepahlawanan yang paling menentukan masa depan.
Mengapa Pengakuan Ini Mendesak
Di tengah krisis keadilan ekonomi dan dominasi modal besar, negara membutuhkan figur rujukan moral dan intelektual. Sumitro adalah simbol bahwa ekonomi Indonesia lahir dari semangat kedaulatan, bukan ketundukan pada pasar global.
Memberi Gelar Pahlawan Nasional kepada Sumitro adalah sikap politik: bahwa negara berpihak pada konstitusi, bukan oligarki; pada perencanaan nasional, bukan laissez-faire.
Penutup: Ujian Keberanian Negara
Mengangkat Sumitro Djojohadikusumo sebagai Pahlawan Nasional bukan soal masa lalu, melainkan arah masa depan. Negara sedang diuji: apakah Pasal 33 hanya jargon, atau benar-benar menjadi kompas kebijakan.
Jika negara berani mengakui Sumitro, maka ia mengakui bahwa ilmu, perencanaan, dan kedaulatan ekonomi adalah bentuk tertinggi dari perjuangan bangsa. Jika tidak, maka kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari lupa sejarah ini?
Jika negara terus menunda pengakuan terhadap Sumitro Djojohadikusumo, maka sesungguhnya yang sedang dipertontonkan bukan kehati-hatian sejarah, melainkan ketakutan politik. Ketakutan untuk mengakui bahwa ekonomi Indonesia pernah dirancang dengan visi kedaulatan, bukan sekadar dikelola demi kepentingan segelintir pemilik modal. Mengangkat Sumitro sebagai Pahlawan Nasional berarti membuka kembali arsip nurani bangsa—sesuatu yang tidak selalu nyaman bagi kekuasaan hari ini.
Gelar pahlawan bukan sekadar soal siapa yang pantas dihormati, tetapi siapa yang ingin diingat dan siapa yang sengaja dilupakan. Ketika negara lebih akrab memberi penghormatan pada figur-figur yang aman secara politik, namun abai pada arsitek ekonomi konstitusional, maka yang terjadi adalah pemutusan ingatan kolektif. Pasal 33 pun direduksi menjadi slogan kampanye, bukan pedoman kekuasaan.
Pada akhirnya, pengakuan terhadap Sumitro Djojohadikusumo adalah cermin keberanian negara menghadapi dirinya sendiri. Jika ia diakui, negara sedang berkata bahwa kedaulatan ekonomi masih relevan dan ilmu pengetahuan adalah bentuk perjuangan. Jika tidak, sejarah akan mencatat: bukan Sumitro yang gagal menjadi pahlawan, melainkan negara yang gagal menghormati fondasi intelektualnya sendiri.












